Senin, 21 Desember 2009

Terminology


Terminologi
Halliday lebih suka menyebutnya “technical terms,” yang diharfiahkan menjadi istilah teknis. Kata atau istilah yang digunakan untuk mewakili satu konsep makna khusus yang berlaku dalam satu bidang atau disiplin ilmu tertentu. Terminologi disusun untuk memudahkan komunikasi di antara komunitas sebidang atau seprofesi. Sebagai orang sosial, kehadiran terminology terasa mencolok ketika saya bertemu dengan teks-teks eksakta, misalnya bidang kedokteran. Satu kata bidang kedokteran bisa menjadi satu alinea untuk menjelaskan pada orang awam. Sebagai contoh pembedaan makan aborsi dan abortus yang hingga saat ini masih membingungkan dalam pemahaman saya.
Terminologi bagi komunitas pengguna menjadi bahasa biasa karena maknanya sudah merupakan shared convention. Hal ini berlaku untuk semua bidang dan profesi, termasuk filsafat. Istilah “ada” dan “mengada” masih merupkan konsep yang masih belum terlalu bermakna, ketika pertama kali mendengarnya. Pikiran saya hanya berkesimpulan bahwa “mengada” merupakan konsep yang teramat penting dalam dunia filsafat, yang oleh Husserl dikaitkan dengan “metafisika kehadiran.” Lagi, kita bertemu dengan terminology, “metafisika.” Apalagi ini? Bagi orang-orang yang mengakji filsafat, makna dari istilah-istilah itu sudah terasa sebagaimana mereka memahami pembicaraan orang atau membaca tulisan dalam surat kabar. Ups! Juga sangat mungkin bahwa media pun mungkin memiliki konvensi terminology yang sebenarnya satu konsep yang gelap bagi mereka yang tidak biasa membaca koran/majalah. Sebagaimana keluh kesah seorang teman yang merasa kesulitan ketika membaca koran dan majalah yang berbobot. Terminologi hampir selalu memuat abstraksi dan mengandung rangkaian makna dalam kata-kata bahasa biasa. Karakter inilah yang menjadikan terminology lebih sulit dipahami dibandingkan kata-kata biasa.

Analogi


Analogi

Dalam bahasa religius, ada istilah qiyas yang seringkali disamakan dengan terma tersebut. Istilah qiyas, seingat saya, biasanya diterjemahkan oleh para pengkaji teologi islam barat dengan “jurisprudence” (jurisprudensi) yang memiliki nuansa lebih umum dan lebih profan. Karen qiyas terkait dengan hukum syariat yang diputuskan oleh para ahli hadist dan ulama untuk memutuskan hukum atas sesuatu dan mendasarkan keputusannya pada kejadian serupa yang pernah diputuskan oleh Nabi atau para Khalifah. Keserupaan itulah yang menjadi dasar untuk menghasilkan keputusan yang serupa juga. Sementara jurisprudensi biasanya mengacu pada keputusan pengadilan terhadap satu kasus dan keputusan itu kemudian menjadi acuan untuk menetapkan satu status hukum yang serupa.
Kembali ke terma di atas, keserupaan menjadi kata kunci saat kita menjelaskan sesuatu sebagai pembanding bagi ihwal yang tengah menjadi pembicaraan. Tentu saja, pembanding tidak akan pernah menjadi representasi utuh dari yang dibandingkan. Tetapi, analog menjdi alat bantu dalam menjelaskan ihwal tertentu. Sifat keserupaan analog itulah tampaknya yang menjadikan metafora teramat kental dengan warna analog itu. Metafora memiliki fungsi untuk merealitaskan makna hingga menjadi nyata seperti realitas itu sendiri, atau bahkan melebihi realitas itu sendiri. Lagu adalah bentuk metafora dari metafora itu karena melaluinya tercipta hiperalitas dengan lipatan-lipatan analog, yang memanfaatkan penangkapan indera pendengaran, perasaan dan pencerapan otak. Maka linangan air mata tumpah ruah ketika lengkingan suara 7 oktaf Celine Dion menyuarakan metafora “My Heart will Go On,” dan dikuatkan dengan kilatan-kilatan adegan dari Titanic. Atau yang lebih lokal dan lebih membumi di Indonesia, bagaimana Charly ST 12 melarutkan perasaan audiens ketika isakan suaranya melantunkan metafora-metafora kehilangan dan kedalaman cinta melalui lagu “Saat Terakhir.” Begitulah fungsi analog, ia mewakilkan dan sekaligus mengkuatkan satu konsep makna. Ia bisa menyederhanakan dan kadang membawa realitas dalam labirin kerumitan, menjadi amplifikator yang menggemakan makna untuk bisa lebih tercerap dalam otak dan menggoreskan seribu kesan.

Panglima Kata


Panglima, sebuah Kata?

Panglima : Ya hanya Kata
Betulkan bahwa panglima tidak lain adalah sebuah kata. Buktinya kita bisa memahami maknanya sebagai satu kesatuan. Dalam morfologi, panglima adalah kata yang terdiri atas satu morfem, elemen makna terkecil. Akar kata dari “panglima” adalah /panglima/ itu sendiri. Makna dari panglima adalah pimpinan atau ketua atau komandan dalam sebuah peperangan. Kata itu memang sangat kental dengan aroma tribal peperangan. Cerita-cerita kerajaan dalam masa penaklukan seringkali menyebutkan para pimpinan perang yang gagah berani dengan nasibnya yang kadang sangat membanggakan dan di saat lain sangat menyedihkan menemui kematian dengan terajam ribuan pedang. Benarkah kegagahan seperti itu cukup diatribusikan dengan “sebuah kata”—teramat reduktif dan tidak adil untuk kata yang selama ini berasosiasi dengan kepahlawanan sekaligus kekuasaan itu. Maka, perlu ditempuh satu penelusuran lebih jauh.
Satu sudut di pikiran mengkutak-katik kata itu menjadi satu frasa yang terdiri atas dua kata bahasa Jawa pang “cabang pohon” dan lima “jumlahnya lima.” Angka lima adalah jumlah yang memiliki nilai ekstra dalam kultur bangsa ini, yang memiliki Pancasila, dan juga masyarakat muslim yang memiliki lima kewajiban shalat tiap hari. Maka cabang pohon yang jumlahnya lima menjadi sesuatu yang pantas diasosiasikan dengan nilai tertentu, nilai yang lebih hebat dari jumlah-jumlah lain. Sekali lagi soal jumlah dan asosiasi mistis dan mitos itu juga mengingatkan memori kita pada perspektif kejawaan yang memandang angka yang tidak biasanya dicurigai memiliki nilai lebih. Misalnya, kelopak bunga tertentu yang lazimnya berjumlah lima, bila didapati jumlah kurang atau lebih dari itu, maka bunga “aneh” itu akan menjadi jimat. Atau cicak atau tokek dengan ekor bercabang yang sering dianggap memiliki daya magis (Hirata:2008). Ya, sang pengarang cerdas itu dalam seri terakhir dari tetraloginya bercerita tentang seorang dukun yang teramat sakti dengan berbagai jimat koleksinya. Salah satunya adalah tokek dengan ekor bercabang. Tokek yang lazimnya memiliki satu ekor ternyata terkadang menunjukkan morfologi yang anomaly. Dan ranah pikiran masyarakat mistis, keanehan itu dimaknai sebagai satu keajaiban dan berpotensi sebagai kekuatan, maka jadilah fenomena anomaly selalu diubah menjadi produk-produk mistis budaya. Dan cerita tentang kemahiran perang sang panglima tidak pernah kering dari daya mistis dan kepemilikan benda-benda anomaly berkekuatan mistis.
Dalam kehidupan modern sekarang, panglima masih ada. Presiden adalah panglima tertinggi yang memegang otoritas mengenai keadaan Negara dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan upaya pengamanan Negara. Film Hollywood sering menggambarkan bagaimana seorang panglima harus memutuskan nasib suatu komunitas yang tertimpa wabah menular apakah mesti diselamatkan dengan jaminan tidak merembet ke komunitas lain, atau malah dimusnahkan sama sekali. Sebagaimana keputusan dalam menangani pesawat yang dibajak, mengirim rudal dan melumat mereka bersama dengan isi pesawat ataukah ada langkah yang bisa dilakukan tanpa membahayakan kepentingan yang lebih besar. Apakah panglima memang tidak bisa jauh dari urusan darah dan nyawa baik menumpahkan atau mempertahankannya?

Sebaliknya: Kata itu Panglima
Bila demikian mengapa kata? Kata tidak memiliki karakter untuk menjadi senjata yang ampuh untuk membunuh, meskipun adagium klise mengatakan “kata lebih tajam dari pedang.” Tetapi apakah sebuah kata atau selaksa kata yang kita tulis dan kita bentuk menjadi piktograf pedang atau pisau bisa memiliki kemampuan sekedar untuk mengiris sepotong tempe yang hendak dimasak? Lalu, apakah kata itu adalah kata milik panglima, karena kata-kata darinya bisa menentukan nasib ribuan nyawa. Atau bahwa kata memiliki ketajaman yang amat ampuh untuk membunuh segala sesuatu yang sifatnya non-fisik, jasadiah. Dengan sifatnya yang tidak tampak dan merambat melalui gelombang udara, sebuah kata bisa menembus dimensi ruang waktu menancap dalam pemahaman reseptor dan mewujud secara begitu nyata dan menggoreskan selaksa luka dalam nurani sebuah bangsa atau seribu juta dera bagi satu umat beragama.
Sebagaimana yang terjadi atas “klaim budaya” tertentu yang menimbulkan gejolak massa yang sangat bersimpati pada budayanya. Sementara PM.Laksono (2009) menanggapinya dengan enteng, “Jangan cengeng dan tidak kreatiflah…biar saja mereka mengaku-ngaku. Ya kita menciptakan lagi…” Seniman yang besar adalah seniman yang tidak pernah kering dan miskin akan karya, maka ketika ada sebagian karyanya dibajak orang lain, tidak memiliki rasa khawatir apapun, karena dia dapat menciptakan karya baru yang lebih baik dari yang diambil orang tadi.
Dengan keampuhan seperti itu, kata tentu saja dapat juga mempengaruhi sebuah realitas atau bahkan dia dapat menciptakan realitas. Lebih ekstremnya “kata” sebagai representasi dari bahasa merupakan prasyarat terpenting bagi sebuah fenomena untuk bisa hadir dan diakui sebagai realitas oleh masyarakat manusia. Maka si cantik bisu yang diperkosa tidak pernah menjadi realitas, karena ia tidak bisa menghadirkan kejadian yang dialaminya dalam bentuk kata-kata. Begitu juga dengan pembantaian di suatu kota tidak mengundang reaksi apapun karena media menyembunyikannya—tidak menciptakan kehadiran bagi fenomena kekejaman manusiawi itu kepada dunia melalui kata-kata dalam salah satu headlinenya. Fakta ini menunjukkan bahwa kata adalah satu kekuatan yang sangat menentukan banyak hal dalam kehidupan manusia. Kehadirannya sebagai perangkat bagi “semiotic reality” untuk hadir tidak lain adalah sebuah “power.” Kata, dengan demikian, bukan sekedar merepresentasikan realitas, tetapi sebagai kendaraan bagi kehadiran realitas (Hasan:2009).
Kata adalah kehadiran realitas itu sendiri. Kata dengan demikian perangkat untuk “mengada” bagi realitas. Realitas menyangkut semua pengalaman yang dapat dicerap pikiran manusia. Melalui kata realitas itu dikemas, disusun, diorganisasikan, dan dibagikan atau disimpan sendiri dalam memori yang tersembunyi dalam simbol-simbol bahasa (Halliday:2009). Bila demikian, kata, atau lebih tepatnya juga merupakan kendaraan bagi pengetahuan, sebagaimana posisi dilematis yang dirasakan oleh Derrida dalam memandang bahasa sebagai kendaraan penghadiran pemikiran yang tidak pernah sepenuhnya mewakili pemikiran yang ada pada dirinya, “karena bahasa adalah bukan alat yang saya ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin saya gunakan” (Sarup, 2008:49). Di bagian lain Derrida menjelaskan bahwa “orang dapat menggunakan bahasa, termasuk tulisan, sains, dan matematika, yang menjelaskan pemahaman lengkap dan jelas atas dunia” (Agger, 2007:115). Dengan demikian, bahasa tidak lain adalah pengetahuan itu sendiri, karena melaluinyalah pengetahuan tentang dunia bisa “mengada” dalam pemikiran manusia. Bila bahasa dipandang dari sudut ini, sebagai representasi pengetahuan maka akan tampak sekali “kepanglimaan” dari “kata” yang tengah kita bicarakan sekarang. Bila kata adalah satu-satunya wadah yang bisa menampung pengetahuan atau setidaknya kendaraan utama bagi pengetahuan, maka siapa saja yang memiliki atau menguasai kendaraan itu, dia adalah panglima itu sendiri.
Kita terbawa ke “Knowledge and Power,” satu pemikiran dari filusuf kontemporer yang sangat berpengaruh bagi teori-teori sosial, Michele Foucault.. Hidayat (2004:236) menjelaskan pandangan Foucault mengenai kaitan kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan memproduksi kuasa sebagaimana kuasa memproduksi pengetahuan. Kuasa hanya mungkin akan muncul bila ada pengetahuan dan pada saat yang sama tidak akan ada pengetahuan kecuali melalui kuasa. Jadi, ada semacam relasi ganda diantara keduanya: pengetahuan mengandung kuasa seperti kuasa juga mengandung pengetahuan. Penjelasan ini dengan jelas menegaskan dari makna “power” dari bahasa (yang mewujudkan pengetahuan) bukan hanya sebagai daya yang mewujudkan realitas, melainkan daya untuk menguasai secara politik ataupun menguasai dari aspek-aspek kehidupan lain.

Kata yang Menutup
Demikianlah, “bahasa” atau “kata” tidak lain adalah panglima dengan vitalitas genetis yang menampung pengetahuan kemanusiaan. Vitalitas itu dapat dimodifikasi untuk kepentingan kemanusiaan baik secara negatif maupun positif. Tampak sekali dalam masa komunikasi global seperti sekarang “bahasa” dapat merubah wujudnya menjadi “malaikat yang paling taat” pada satu masa; ia menjadi sumber keberkahan bagi manusia. Pada saat yang sama, bahasa memiliki potensi untuk mewujud menjadi “dedengkot iblis yang paling jahat”; bahasa menjadi momok yang mengerikan karena dapat membenamkan nasib seseorang ke dalam lembah kebinasaan yang terdalam. Teringat satu nasihat dari mitra komentator bahwa kita harus “dewasa” dan “bijak” dalam segala hal, termasuk dalam memanfaatkan sang panglima, “kata” (baca:bahasa), agar bahasa betul-betul menjadi figure yang memberikan layanan terbaik bagi kehidupan manusia, sebagaimana maksud dari inspirator dan Maha Guru bagi kebudayaan manusia, sang ilahi. Semoga…

Daftar Pustaka
Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis (Nurhadi-Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme. (Medhy Aginta Hidayat-Penerjemah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hasan, Ruqaiya. 2009. Space & Language. (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Halliday, M.A.K. 2009. Tanya-Jawab Leksiko-Tatabahasa (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Hidayat, Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan Terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Hirata, Andrea. 1999. Maryamah Karpov: Mimpi-Mimpi Lintang. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Laksono, PM. 2009. Fenomenologi dalam Kritik Seni (makalah). Seminar Penelitian Seni Interdisipliner. Yogyakarta: Fak. Bahasa dan Seni, UNY.

Senin, 14 Desember 2009

Pangkal dan Ujung - Part1

Bertemunya Pangkal dan Ujung
Bila hidup atau waktu kita pandang sebagai realitas yang siklusif atau sirkular, maka kita akan segera temukan pangkal dan ujung itu bertemu. Filsafat Timur memandang waktu sebagai sesuatu yang siklusif dan sirkular seperti tampak dari metafora-metafora budaya yang berlaku, misalnya “alon-alon asal kelakon” atau ujaran seperti “masih ada hari esok,” atau olok-olok, “kaya ra ana dina meneh.” Artinya mereka berpandangan bahwa waktu itu berjalan memutar sebagaimana penampakan matahari yang menandai waktu-waktu dalam kehidupan. Maka ujung dan pangkal dalam perspektif filosofis itu, adalah akhir dari siklus yang sekaligus menjadi titik awalnya, yakni saat seseorang bangun di pagi hari sebagai langkah untuk mengawali kegiatan hari itu, sekaligus akhir dari penutup aktivitas di hari sebelumnya.
Tentu, akan sangat berbeda dengan pandangan waktu dan hidup sebagai sesuatu yang linear; dengan keyakinan bahwa tiap detik yang berjalan dalam kehidupan tidak akan pernah sama, sehingga ada semangat untuk mengisi tiap detik itu dengan sesuatu yang berfungsi guna. Dengan demikian filsafat Barat sangat serupa dengan semangat waktu yang menggelegak dari pemikiran Islam dengan “Demi Masanya.” Metafora “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin” adalah perwujudan yang jelas landasan pemikiran yang berkeyakinan bahwa realitas adalah sesuatu yang linear dan senantiasa berubah.

Bahasa Sakit (Part 2)

Bahasa yang tidak dapat mengemban fungsinya dengan baik mungkin itu yang disebut bahasa sakit. Ketika satu teks tidak dapat mengungkapkan maksud yang diinginkan oleh pengguna bahasa, maka bahasa itu bisa dikategorikan dengan bahasa yang tidak sempurna. Menilik dari dekonstruktivisme Derrida, bahasa pada hakikatnya demikian. Dengan mengkritik kemutlakan strukturalisme, ia menegaskan bahwa tidak ada tanda yang sempurna. Karena makna tidak pernah hadir utuh, dan kehadirannya selalu lekat dalam satu konteks, dan setiap konteks tidak pernah dapat mewadahi makna secara lengkap dan utuh. Derrida menyatakan sebagai berikut: “penanda terus berubah menjadi petanda, dan sebaliknya, dan kita tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang dalam dirinya sendiri bukan penanda.” Lanjutnya, ia mengatakan bahwa apa yang diacu oleh penanda tidak lain adalah sesuatu yang tidak ada, dengan demikian makna sendiri dipertanyakan keberadaannya. “makna terus-menerus bergerak di sepanjang matarantai penanda, dan pengguna bahasa tidak pernah memiliki kemampuan untuk memastikan posisinya, karena makna tidak pernah terikat secara konstan dalam satu tanda tertentu. Dari perspektif ini, bahasa, apapun itu, selalu dalam kondisi tidak sempurna, cacat, atau sakit. Namun, Derrida juga mengajukan konsep tanda silang sous ratur, yang bermakna bahwa dalam ketidak-sempurnaan itu bahasa tetap memiliki fungsi dan guna. Ia adalah satu-satunya perangkat yang bisa menghadirkan makna, dan tidak ada media lain yang bisa menjadi kendaraan makna yang sesempurna bahasa.
Maka, bila yang dimaksud bahasa sakit itu adalah bahasa-bahasa atau teks-teks yang berada di antara teks pada umumnya dengan ciri-ciri khusus, yakni teks yang maknanya tidak pasti, misalnya plesetan atau ketaksaan (ambiguity), kita perlu mundur sedikit ke belakang dan mempertanyakan patutkah bahasa itu disebut sebagai bahasa sakit? Mungkin perlu ditambahkan samples lain wujud bahasa yang unik seperti bahasa gaul, bahasa dagadu, bahasa prokem, bahasa walikan, dan lain-lain. Plesetan dengan keunikan dan ciri kelucuannya dikonstruksi dengan tujuan. Ia merupakan bagian dari konvensi sosial dalam komunikasi yang khas. Pengkaburan makna yang diciptakan dalam plesetan dieksplorasi untuk tujuan melucu dan humor atau kadang untuk menyindir. Dengan kata lain, penyimpangan tersebut dilakukan dengan tujuan social yang disengaja, dan semuanya berjalan dalam frame konvensi komunitas penutur. Yang keliru adalah ketika plesetan muncul pada konteks yang tidak semestinya dan menimbulkan friksi rasa yang tidak nyaman bagi para pelibat dalam konteks yang dimaksud. Dalam kasus seperti itu, bukan hanya bahasa plesetan saja yang bisa melakukannya. Bahasa konvensial pun ketika isi informasinya tidak tepat konteks akan menimbulkan permasalahan serupa. Dengan demikian, plesetan pun dipertanyakan sisi sakitnya. Biasa saja kan?
Bahasa taksa? Penempatan dalam konteks akan membuat si taksa menjadi jelas makna. Sesuatu yang taksa seringkali karena dilepaskan dari konteksnya. Kalimat dibiarkan berjalan sendiri dan kita coba atik-atik, maka ketaksaan akan muncul. Memang, ketaksaan itu sengaja dipertunjukkan untuk membuktikan bahwa konstruksi dari elemen-elemen bahasa tertentu memiliki potensi untuk memiliki makna ganda. Tetapi ingat bahwa bahasa dalam kondisi realnya selalu hadir dalam konteks penggunaan. Termasuk sampel-sampel kalimat taksa itu, mereka dihadirkan untuk memberikan pembelajaran pada pengakji bahasa. Dengan kata lain, ketaksaan hadir dalam konteks metabahasa. Bila kita tarik contoh riil dari kegandaan makna yang seringkali menimbulkan polemik adalah pernyataan yang tidak tegas dari SBY. Menurut pendapat pribadi saya, bukan soal bahasanya yang taksa, melainkan persoalan ide yang melatarinya. Ekspresi yang muncul ditimbulkan oleh suasanan hati yang gamang dan tidak tegas, sehingga proposisi yang muncul menimbulkan tafsir yang teramat beragam, dan bahkan saling bertentangan. Bahasa seperti itu dimunculkan juga sebagai bagian strategi yang diambil otoritas untuk mengamankan posisinya. Kembali lagi, taksa akan hilang atau berkurang bila ekspresi taksa ditempatkan dalam konteks penggunaannya.
Begitu juga dengan contoh-contoh bahasa seperti bahasa gaul dan kawan-kawannya yang bermain dengan bentuk. Permainan bentuk ekspresi itu menjadi arena eksploitasi untuk membangun identitas tertentu. Bahasa Dagadu misalnya berkembang sebagai wujud konvensi masyarakat Yogyakarta tertentu untuk membentuk cara komunikasi yang identitif. Lagi-lagi ada konvensi yang mengikat keunikan itu menjadi shared understanding. Artinya bahasa itu hanya akan dimengerti oleh komunitas penutur yang bersangkutan. Dengan demikian, bahasa itu tidak berbeda dengan bahasa pada umumnya. Hanya saja komunitas yang memilikinya lebih kecil dan biasanya tidak jauh berbeda dengan bahasa konvensional yang menjadi induknya. Karena modifikasi-modifikasi bentuk ekspresi itu memiliki bentuk-bentuk dasar dari vokabuler dari bahasa induk terkait. Bahasa tersebut juga memiliki kekhasan yang hanya terbatas pada bentuk kosakata, bukan pada sisi gramatikal. Lagi-lagi, bahasa seperti juga tidak bisa dikategorikan dengan bahasa yang tidak sempurna atau bahasa cacat. Bahasa itu adalah bahasa modifikasi yang tetap dapat berfungsi sebagai perangkat komunikasi bagi masyarakat tuturnya. Lalu, adakah bahasa sakit itu? Sementara ini, tidak ada bahasa apapun yang bisa dikategorikan secara mutlak sebagai bahasa sakit.

Rabu, 25 November 2009

Bahasa "the Powerful"


Bahasa yang sakit Vs Bahasa yang sehat


Dikotomis dan saling menghilangkan, atau kadang dimaknai sebagai "mutually exclusiveness"-saling meniadakan. Itulah kesan pertama judul di atas. Apa benar demikian? Untuk tubuh wadag iya, badan yang sakit tidak bisa serta merta badan yang sehat, meskipun bisa dipilah lagi. ketika perut sakit, kepala belum tentu sakit. Tetapi sebagai satu kesatuan, tubuh yang sakit tidak mungkin sekaligus menjadi tubuh yang sehat. Lalu, bagaimana dengan bahasa??

Tidak perlu mendefiniskan bahasa itu, yang dimaksud adalah perangkat komunikasi yang memanfaatkan tanda verbal berisikan wujud untaian fonis, makna dan acuan yang melekat pada konteks.Term sakit yang dilekatkan pada bahasa adalah hal yang baru saja kudengar. Yups, karena sakit biasanya melekat pada sesuatu yang "animate" (bernyawa dan hidup). Malaikat atau setan "sakit" masih terasa normal dalam commonsense, iya kan? Maka klarifikasi menyebutkan bahasa sakit dijelaskan bahasa yang tidak digunakan secara konvensional, misalnya plesetan, ketaksaan, idiom mungkin....So, dari titik pangkal ini, kita dapat membicarakan dua hal itu dengan lebih pasti.
Artinya bahasa sehat adalah bahasa kita sehari-hari yang kita gunakan, kita temukan di buku-buku, terbaca di sepanjang jalan melalui media iklan dan media publik lainnya. Bahasa ada di mana-mana menjalankan fungsinya dalam kehidupan manusia, yakni mengkomunikasikan pengalaman kemanusiaan mengenai realitas maupun sesuatu yang direalitaskan melalui bahasa.
Teringkat term Ibu Prof. Ruqaiya Hasan yang dengan kepalan tangannya menegaskan "The Power of Language" yang dihubungkan dengan "semiotic reality" --untuk merangkum keampuhan bahasa dalam merealisasikan realitas itu sendiri. Bahwa fenomena akan menjadi real bila bahasa mau merangkumnya. Artinya pengalaman kemanusiaan akan menjadi nyata dengan bahasa sebagai media perwujudannya. Terbayang kan? contoh kecil saja bagaimana budaya yang berbeda memiliki daya tekan terhadap realitas yang beragam yang penekanan fokus itu tampak dari bagaimana mereka berbahasa. Misalnya: "America" tidak akan pernah menjadi apa-apa bila tidak ada nama yang dilekatkan oleh Columbus di daratan yang teramat besar itu, tentu saja yang didahului dengan proses diskaferi. Sampel lain kita tahu bahwa realitas rasa sedih sangat beragam, tetapi toh hanya kata "sedih" yang bisa mewakili kondisi emosi sedih yang sebenarnya satu kontinum dari yang paling ringan hingga yang terberat. realitas emosi negatif yang pada wujud aslinya teramat banyak itu hanya dirangkum dengan satu kata "sedih" dengan mereduksi hal-hal yang variatif itu. Maka bagian lain terbuang begitu saja, dan tidak terwadahi oleh bahasa. dengan kata lain realitas itu tidak terwujud, karena bahasa tidak memediasinya. Sebagaimana peran media massa yang bisa mewujudkan atau menegasikan realitas, dengan memilih berita mana yang akan dimunculkan dan bagaimana menyajikannya. Prita Mulyasari tidak akan menjadi ada, bila media tidak menjaringnya dan menyebarkannya menjadi isu massa, dan mungkin Prita tidak akan dikenal siapapun, dengan nasib yang mungkin sangat menyedihkan menanggung berbagai beban dan sanksi yang sebenarnya tidak pantas ia tanggung. RS.OMNI mungkin akan semakin sewenang-wenang memperlakukan pasiennya dan berdiri makin pongah dengan kapital yang dimiliki untuk menindas mereka yang kritis dan jujur tentang siapa OMNI itu. Dan realitas itu lagi-lagi termediasi oleh bahasa. believe it? Language is so powerful. dengan demikian bahasa bukan hanya sehat tetapi juga memiliki vitalitas, daya hidup yang bisa mempengaruhi realitas-realitas yang lain.

Kesalahan Tertinggi


Kesalahan tertinggi?
Dalam kehidupan? Saya kaitkan dengan komitmen yang bisa diartikan memegang teguh dan sembada dengan apa yang sudah kita putuskan. Komitmen berarti konsekuen terhadap tanggung jawab yang melekat dalam sebuah realitas yang ingin kita wujudkan dalam diri sebagai pribadi, social dan transedental. Kaitan dengan ketiga elemen tersebut, komitmen berdiri sejajar. Satu efek yang sama akan timbul bila kita melecutkan satu aksi terhadap komitmen itu. Bila, kita teguh dan menjalankan satu keputusan dengan penuh komitmen, pribadi akan tenang dan hati rasanya puas, terlepas dari hasilnya bagaimana; sesuatu yang dijalani secara serius, dengan upaya maksimal, tentu akan menenangkan hati, tentang hasilnya Sungguh hanya kuasa Tuhan yang memilikinya. Meskipun Tuhan berjanji akan memberikan anugerah bagi siapa saja hamba yang mau bersungguh-sungguh. Bagian ini juga menjawab aspek transcendental. Secara sosial, komitmen yang tinggi akan menjadikan orang lain percaya. Mereka tidak akan ragu bila memberikan amanah, karena yakin diri kita akan mengemban dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh.
Maka kesalahan tertinggi adalah wujud kontras dari penggambaran tadi. Komitmen yang diabaikan. Kita sepakat bahwa komitmen mengandung makna menjalani kewajiban dari keputusan secara tanggung jawab dengan mengerahkan kompetensi yang ada demi terpenuhinya syarat dan kewajiban yang tersimpan di balik satu keputusan. Tanggung jawab sangat mungkin mengandung konsekuensi yang inheren terhadap kompetensi. Artinya, kita menjalankan satu tugas secara baik dari waktu permulaan hingga titik akhirnya. Dan dalam proses itu, kita menyediakan kompetensi yang relevan dan memang dibutuhkan sebagai syarat keberhasilan satu tugas. Dengan demikian, bila satu keputusan yang diambil ternyata sebenarnya kurang relevan dengan kompetensi yang ada pada diri, maka sebelum tugas itu dijalankan kita harus membekali diri dengan segala daya agar kita memenuhi “fit and proper test” dalam hal kompetensi. Kompetensi yang memadai juga tidak menjamin keberhasilan satu tugas, tanpa dibarengi dengan tanggung jawab. Kompetensi yang ada hanya akan sia-sia, karena si pengembang tugas tidak sempat mengimplementasikannya.
Maka ujungnya adalah bencana. Sistem menjadi kacau, tampak tidak lebih dari formalitas luar yang tanpa isi. Ujungnya, saya yakin ada pemberontakan-pemberontakan bukan dari pihak lain, tetapi dalam diri sendiri. Nurani terkurung resah, kita berdiri tanpa bisa melihat horizon, hanya menunduk, merutuki kegagalan dan kesalahan yang mestinya tidak terjadi. Orang lain akan kehilangan kepercayaan dan enggan untuk menjalin koneksi dengan kita, karena takut relasi yang ada hanya melecutkan bencana. Tuhan adalah pihak yang maha Tahu di mana tiada apapun yang bisa kita sembunyikan dariNya. Dan kita dalam segala aspek diri tidak lain adalah khalifah, para pengemban amanah, yang artinya konsekuensi dari komitmen yang terabaikan tidak lain adalah murkaNya. Maka kesalahan tertinggi adalah komitmen yang diabaikan baik sebagai diri, social maupun transendental.

aku, diri dan pribadi

aku, sebagai diri dan pribadi...
Karena aku pribadi bersifat pribadi, maka tidak semua pribadi itu bisa aku tuang di sini.wilayah-wilayah privat tetap harus dalam kondisi sembunyi. maka yang aku tulis sekarang mungkin bukan pribadi yang benar-benar pribadi. Karena begitu aku mengklaim sesuatu sebagai pribadi tetapi aku tulis dalam domain ini, maka secara otomatis dan serta merta menjadi "tidak pribadi."
Ok, soal diri yang muncul lebih awal dalam title di atas.
Diri yang kumaksud adalah wujud wadag dari aku. dari rambut yang sering kusut tak tersisir, karena sisir, bukan aku (mengingatkan puisi Rendra yang diulas secara apik dalam buku Kris Budiman). kulanjutkan...melewati bibir yang kupikir kebesaran sedikit...dan perut yang aku bingung bagaimana mengecilkannya, hingga betis yang terlampau besar, karena aku biasa berjalan berkilo-kilo untuk bermain di hutan, atau jalan bolak-balik melewati sawah ketika aku sekolah. Diri ini adalah identifikasi dari orang ketika ingin tahu mana manusia yang disebut "Kris." maka diri itu adalah material biologis, fisis, kemis yang mensintesa menjadi sosok pendek,gendut yang bagi sebagian "sangat menyebalkan." Tentu asosiatif sifat itu tidak banyak ditentukan oleh kewadagan diri. Ada sisi batin, perilaku, dan hal lain yang kemudian orang lain menentukan penilaian atas diriku itu. "kesebalan" tadi salah satunya muncul dari kata-kata yang keluar dari bibir atau tercipta dari gerak jari yang kadang tajam menusuk, atau sentilan-sentilan kecil yang sering sakit mencubit. dan kata seringkali lebih tajam dari pedang, ataupun menjadi wujud lembut yang memanjakan angan.Oh, tanpa terasa sudah masuk bagian yang aku sebut sebagai pribadi. Yups, kepribadian atau manner itulah yang bersifat "fatis" menentukan sifat relasi atau dengan kata lain menjadi faktor dalam aku,sosial. Mungkin...paling tidak itu yang ada di pikiranku saat ini (mengutip Mr.Marsigit)

Selasa, 24 November 2009

aku, sosial detik ini

aku sosial detik ini adalalah aku yang seorang murid tengah mencoba berbakti dengan petunjuk sang guru.menulis tentang ontologi diri. berikutnya, aku adalah mahasiswa UNY yang duduk di antara mereka yang sama-sama memanfaatkan Internet gratis. dan mungkin sebagian mereka memandang aku sebagai kompetitor, karena mereka juga butuh untuk memakai PC yang aku gunakan. Dan dalam hatiku,aku menjawab pandangan mereka yang aku tafsirkan dengan "bentar ya mbak, mas, gantian..."
Selain itu, aku detik ini adalah salah satu anggota keluarga yang dinanti kehadirannya untuk pulang. atau aku ditunggu oleh kondektur bus yang mencari penumpang. atau aku yang sebenarnya segan untuk menaiki bus itu, karena takut mabuk di perjalanan. atau aku adalah teman yang ditunggu teman lain karena aku kirim pesan butuh utang untuk pulang.Akh, aku sosial dalam detik yang sama ternyata memerlukan selaksa ujaran untuk dituntaskan. dan aku yakin aku sosial detik ini tidak akan selesai sekarang...karena detik itu kini mendesakku untuk beranjak...menjalani fungsi sosial pada detik ini juga....

aku, sosial...

Wah, bagian ini aku akan menjadi sosok yang berlimpah, karena jawaban atas "siapa aku" akan sangat banyak dan semuanya memiliki kebenarannya sendiri. karena aku berelasi dari titik awal kehidupanku hingga ke titik akhir yang aku tuju. aku bisa menjadi "bayi kecil yang biasa diemong sama 'mbah um,' katanya"...ya seperti Melly Goeslow (MG) yang kalau aku ditanya siapa dia atau bila dipandang dari sisi Melly Goeslow "siapa aku" maka aku akan menjawab bahwa "kamu adalah penyanyi cerdas dan kreatif." tetapi dia menjadi aku yang lain ketika bernyanyi, "kata mereka, diriku selalu dimanja, kata mereka, diriku selalu ditimang" maka aku MG menjadi bayi kecil seperti aku Khristianto yang aku ceritakan tadi....dan bila kita runut kontinum itu secara ekstrim, maka ujung dari aku sosial barangkali "aku adalah anak ibuku" dan pangkal aku sosial adalah "aku adalah sosok tubuh yang barusan dimakamkan." meskipun, ketika aku sosial itu diingat lagi dan disebut lagi oleh mereka yang masih hidup, aku mungkin akan bangkit lagi melalui relasi-relasi yang terbentuk dari langkah-langkahku sebagai aku sosial. Maka, aku tetap menjadi bapak si reza, yang mungkin masih hidup ketika itu, atau menjadi eyang dari anakku itu, bila kelak dia punya. atau aku mungkin menjadi nama yang dikutip dari orang yang mengutip dari artikel-artikel kecil yang pernah aku jentikan dengan enam jariku....maka aku sosial menjadi ribuan kata yang takkan habis aku tulis.

aku, transendental...

sejalan dengan keberadaanku sebagai di antara malaikat dan hewan itu, aku berupaya menjadi aku pada orbitku yang semestinya, maka tali kekang syariat kuusahakan kupegang erat, meski kadang terasa licin dan terlepas. Pemahaman tali kekang itu amat penting sebagai pertahanan diri untuk memantek diri pada orbit kesejatianku. Dalam kesadaran semacam itu, aku adalah gumpalan kecil transendental seperti benang yang menjulang tegak ke atas,yang sering tidak tegak benar karena lunaknya sifat benang, serta saputan angin dan hujan.

Who Am I?

Siapa aku? karena aku bisa menjadi siapapun, dengan sifat deiktisnya. aku adalah si pembicara atau penulis. maka aku di sini adalah Khristianto. Maka pertanyaan awal tadi saya tegaskan dengan Siapa Khristianto? mewakili manusia, tidak lain makhluk hidup yang dinamai sebutan itu adalah manusia, yang mungkin akan diposisikan dalam piramida hirarkis di antara malaikat dan hewan. Posisinya yang berada dalam titik tengah antara malaikat dan hewan, maka aku tersebut kadang menunjukkan perilaku taat nan mulya seperti malaikat, tetapi juga sering memunculkan sikap culas yang memperturutkan nurani instink hewaniahnya....

Rabu, 18 November 2009

THE SPEECH ACTS AND CONVERSATIONAL IMPLICATURE OF WISE’S THE SOUND OF MUSIC


Chusni Hadiati
Jenderal Soedirman University
Email: chusnihadiati@yahoo.com

Abstract
The conversation’s implicatures as the impact of the violation of the cooperative principle’s maxims of Grice (1975) can be classified into the speech act category of Searle (1975). The movie “The Sound of Music” is a masterpiece of Robert Wise winning many international awards. The conversations in it have some interesting characteristics worthy to investigate. The implicatures of the maxim violation in the movie’s dialogue can be categorized into: (1) representative: protecting, refusing, pretending, and stating a joke (2) directive: flirting, asking other to go, keeping a secret (3) commissives: accepting an offer, (4) expressive: mocking, entertaining, calming down, and pleasing.

Key words: speech acts, implicature, cooperative principles


Introduction
As a means to build a social relation, language has various functions. Malinowski (1923) in Halliday (1989:15) classifies language functions into two big groups. The first is pragmatic, in which this function is the further divided into narrative and active. In this case, the main function of language is as a means of communication. The second is magical, in which language is used in ceremonial or religious activities in the culture.
A mutual understanding is inevitably needed by a speaker and a hearer in order to construct a good communication. Understanding an utterance syntactically and semantically is not sufficient since the meaning of utterance is not only stated but it is also implied. In order to comprehend the implied meaning of an utterance, implicature becomes unavoidably essential. Implicature is a proposition that is implied by the utterance in a context even though that proposition is not a part of nor an entailment of what is actually said (Gazdar, 1979: 38). Grice classifies implicature into conventional and conversational. Conventional implicature is an implicature which arise solely because of the conventional feature of the words employed in an utterance. On the other hand, the second refers to the implicature which derives from general conversational principles and not just from the lexical entry of the verb concerned (Gazdar, 1979:38).
Grice says that one of the causes of conversational implicature is the flouting or exploitation of his cooperative principles. Cooperative principles proposed by Grice mentions that a speaker makes his conversational contribution such as is required at the stage in which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which he is engaged (Levinsons, 1995:101). He, then, further divides the cooperative principles into four maxims: maxim of quality, maxim of quantity, maxim of relevance, and maxim of manner.
To grasp the notion of communication, context happens to be completely important since speaker and hearer have to know the context in which the conversation takes place. Therefore, understanding context can be a helpful way to know the speaker and hearer’s intention
Below is dialogue taken from The Sound of Music the movie.

(1) context : Max Detweller is tutoring the von trapp’s children to sing since he plans to enrolles them in singing festival in vienna. In fact the children are very upset because maria left their house.
Max Detweller : Let’s make believe we’re on stage at the festival.
Martha : I don’t feel like singing.
Gretl : Not without Fraulein Maria.
Max Detweller : Lesl, get the guitar. Come on Martha…..Everybody into the group. Get in your places. Now be cheerful, right? Give us the key, Liesl….Now impress me!
Max Detweller : Greti, why don’t you sing?
Gretl : I can’t. I got a sore finger.
Max Detweller : But you sang so beautifully the night of the party.

Gretl utterance ‘I can’t. I got a sore finger’ flouts the cooperative principles, especially the maxim of relevance. Maxim of relevance mentions that a speaker should give his contribution relevant. Gretl’s utterance is not relevant with Max Detweller’s question. He asks her why she does not sing and Gretl answers it by saying that she can not sing because she has a sore finger. If anyone suffers from sore finger she or he still can sing. In fact, Gretl says that she can not sing because of her sore finger. Therefore, her utterance flouts the maxim of relevance. The flouting of this maxim causes the conversational implicature. The conversational implicature that derives from her utterance is ‘refusing’. Gretl refuses to sing because she fells sad since Maria leaves her house. Maria is her governess who she really loves.
From the above illustration, the writer is interested in conducting a research on the speech acts and the conversational implicatures found in Wise’s The Sound Of Music.
In order to specify the topic, the researcher formulates two problem statements of the research. The first is to identify the speech acts occurred in Wise’s The Sound Of Music and the second is to explain the conversational implicature found in Wise’s The Sound Of Music.

Speech Acts
Speech acts are words that do things (Mey, 1994:110). When an utterance is produced it is not merely a combination of words. It has deeper intention. When one says ‘I’ll come tomorrow’ he does not solely say it but at the same time when he produces this utterance he also makes a promise. Words that ‘promise’ means that they do ‘something’. There are numerous speech acts in people’s utterances and Searle classifies them into five groups (Mey, 1994:165-167).
1. Representatives (Assertives)
These speech acts carry the values of true and false. In this point, the utterance must match the world in order to be true.
2. Directives
These speech acts embody an effort on the part of the speaker to get the hearer to do something, to ‘direct’ him or her towards some goal.
3. Commissives
Like directives, commissives operate a change in the world by means of creating an obligation; however, this obligation is created in the speaker, not in the hearer, as in the case of directives.
4. Expressives
These speech acts, as the word say, express an inner state of the speaker which, insofar as it is essentially subjective, says nothing about the world.
5. Declaration
These speech acts are the declaration that changes the state of affairs in the world.

Cooperative Principles.
In order to be an effective communicator, a speaker and a hearer have to obey the cooperative principle proposed by Grice. He mentions that each speaker should give ‘enough’ contribution in conversation. He divides the cooperative principles into four maxims (Levinson, 1995 :101-102). The first is maxim of quality. This maxim contains an advice for the speakers to make their contribution one that is true, specifically; do not say what you believe to be false and do not say that for which you lack adequate evidence. The second is maxim of quantity. It includes the suggestion for the speakers to make their contribution as informative as is required for the current purposes of the exchange and do not make contribution more informative than is required. The third is maxim of relevance. It involves the recommendation for the speakers to make their contribution relevant. Last but not least is maxim of manner. It consists of advice for the speakers to be perspicuous and specifically avoid obscurity, avoid ambiguity, be brief, and be orderly.

Implicature
As mention before, implicature is a proposition that is implied by the utterance of a sentence in a context even though that proposition is not a part of nor an entailment of what was actually said (Gazdar, 1979: 38). It has two classes, conventional implicature and conversational implicature. The former refers to implicature that derives from the conventional feature of the word used in utterance. The latter arises from the flouting of the general conversational principles. Lyons (1995:272) states that:
‘the differences between them is that the former depends on something other than what is truth-conditional in the conversational use, or meaning of particular form of expression, whereas the latter derives from a set of mere general principle which regulate the proper conduct of conversation’
Based on Lyons’ opinion, it can be assumed that conventional implicature is more general than conversational implicature since everyone knows that the meaning of words that constitute an utterance is based on the convention of the community which uses the language itself.
Implicature can be resulted from the flouting of maxim of the cooperative principles. When a speaker exploits those maxims, he or she tries to hide something. The ‘hidden’ thing is the implied meaning of the conversation, Therefore this implied meaning is the conversational implicature.

Methodology
This research is a descriptive qualitative research since it tries to describe the language phenomenon descriptively without using statistics (Arikunto, 1993:195). The data are taken from the conversation occurred in the film The Sound of Music. The techniques of data collection are observing and note taking. Observing is done by watching and observing the features of language used in the movie. After observing the language, note taking is then made. The conversations which are indicated having the conversational implicatures are noted and collected. Data are then analyzed using heuristic analysis proposed by Leech (1983:41). Having noted the conversation, the researcher makes a hypothesis of the implicature carried by the utterances. Testing is then done by checking and comparing the meaning of the implicature and the context. In case, if the implicature is supported by the context, further interpretation can be made. If it fails, on the other hand, it must be started from the beginning. Below is the diagram of heuristic analysis.
Problem
Hypothesis
Testing
Failed
Success
Interpretation












Analysis and Discussion
The analysis of this research is divided into four parts based on the maxims of cooperative principles which are flouted by each speaker.

The flouting of maxim of quality and its conversational implicature
The maxim of quality contains an advice for the speaker to give their contribution one that is true. The flouting of maxim of quality results the conversational implicature ‘mocking’ as shown by below dialogue.
(9) CONTEXT: Maria asks the von trapp’s children to mention their names one by one and she also asks them to mention ther age as well. Louisa, one of these children, tries to mock Maria by mentioning that her name is brigita.
Maria : Well, Now that there’s just us. Would you please tell me all your names again and how old you are.
Liesl : I’m Liesl. I’m 16 years old. And I don’t need a governess.
Maria : I’m glad you told me, Liesl. We’ll just be good friend.
Friedrich : I’m Friedrich. I’m 14. I’m impossible.
Maria : Really? Who told you that?
Friedrich : Fraulein Josephine. Four governesses ago.
Louisa : I’m Brigita.
Maria : You did’t tell me how old you are Louisa?

After introducing Maria to his seven children, Captain Von Trapp leaves Maria with them. He hopes Maria can get along with his children. These children usually mock their new governess to make her feel uneasy and then they hope their governess will leave them soon. They always do that because they never like their governess. When Louisa says that her name is Brigita, Maria knows that Louisa tries to mock her. Fortunately Maria still remembers that her name is Louisa so Maria says ‘You did not tell me how old you are, Louisa?’ Louisa utterance is said to flout the maxim of quality since she does not give true contribution, specifically she says something that she believes to be false. By giving the false contribution, Louisa flouts the maxim of quality that result the conversational implicature, which is ‘mocking’.
Based on Seale’s classification of speech acts, ‘mocking’ is grouped into expresives. These speech acts, as the word says, express an inner state of the speaker which says nothing about the world. By mentioning the wrong name, Louisa is trying to mock Maria and mocking is a kind of speech acts that does not change anything in the real world. It just a kind of expression of anyone’s feeling. Louisa wants to express that she does not like Maria. She thinks that all the Von Trapp children do not need any governess since all that they need is their father’s love and attention. Captain Von Trapp is a very busy man, moreover, after his wife’s death; he tries to entertain himself by travelling and leaving his children behind. He often leaves his children with their governess.
Using the same technique, the researcher finds other implicatures caused by the flouting of maxim of quality. They are: ‘mocking’, ‘entertaining’, ‘protecting’, ‘flirting’, and ‘pretending’. Based on Searle’s classification of speech acts, the researcher classifies those implicatures into: (1) representatives: ‘pretending’ and ‘protecting’; (2) directive: ‘flirting’; (3) expressive: ‘mocking’ and ‘entertaining’.

The flouting of maxim of quantity and its conversational implicature
The maxim of quantity consists of two information for the speaker to make their contribution as informative as is required and not to make their contribution more informative than is required. The flouting of maxim of quantity results the conversational implicature ‘refusing’ as shown by below dialogue.
(41) Context : when the von trapp family tries to secretly escape from Austria in the middle of the night, herr zellr, who wants to take captain von trapp to he navy, appeares.
Herr Zeller : I’ve not asked you where you and your family are going nor have you asked me why I’m here.
Captain von Trapp : Apparently we both suffer from a deplorable lack of curiosity.
Herr Zeller : You never answer the telegram from the Admiral of the Navy of the third Reich.
Captain von Trapp : I was under impression, Herr Zeller, that the contents of telegrams in Austria are private. At least the Austrian I know.
Herr Zeller : I have my orders to take you to Bremerheaven tonight where you will accept your commission.
Captain von Trapp : I’m afraid that’s going to be quite impossible…. You see, we…all of us, the entire family, will b singing in the festival tonight. As a matter of fact, we’re going now. We couldn’t possibly let them down now.

Captain von Trapp’s utterance ‘I’m afraid that’s going to be quite impossible…. You see, we…all of us, the entire family, will be singing in the festival tonight. As a matter of fact, we’re going now. We couldn’t possibly let them down’ is said to flout the maxim of quantity. This maxim states that a speaker must give their contribution as informative as is required and not to make their contribution more informative than is required. The Captain’s utterance is too much since Herr Zeller’s question is only asking if he can take The Captain to Bremerheaven or not. Herr Zeller, inevitably, hopes that the Captain’s answer is yes or no. In fact, the captain gives a long answer by saying that he and his family are going to join the singing festival in Austria and he just can not let his family down by cancelling their plan. His long answer is giving more informative contribution than is required. Therefore his utterance is flouting the maxim of quantity. If he only answers yes or no he will not flout the maxim of quantity. Since he flouts the maxim of quantity, he hides something. This hidden message is the conversational implicature. The conversational implicature caused by the flouting of maxim of quantity is ‘refusing’. Captain Von Trapp refuses to be taken into Bremerheaven to join the The Austrian Navy. Joining The Austrian Navy means joining The German Navy. Captain Von Trapp, who loves his country very much, feels that he is not a Germany; therefore he refuses to join German Navy. In 1936, German Navy started the World War II and that time was the golden period of Hitler’s reign. Besides, in 1938, German had a good bilateral relationship with Austria since both countries tried to make liberalism come true in their countries. The German authority would do anything, included threatening the soldiers’ family, to force their soldier joining the troop. Captain von Trapp refuses to cooperate with German Navy since he does not really want to take part in World War II. By giving a long answer on Her Zeller’s question, it can be concluded that Captain Von Trapp refuses Zeller’s offering.
Using the same technique, the researcher finds other implicature caused by the flouting of maxim of quality that is ‘showing’. Both ‘showing’ and ‘refusing’ are grouped into representative.

The flouting of maxim of relevance and its conversational implicature
The maxim of relevance consists of an instruction to the speaker to be relevant. It means the speaker must give relevant contribution in conversation. The flouting of maxim of relevant results the conversational implicature ‘asking other to go’ as shown by below dialogue.

(30) CONTEXT: The Reverend mother asks Maria why she suddenly leaves the von trapp family without asking pemission. At first Maria tries not to tell the reverend mother the truth but finally she makes up her mind and she tells the truth.

Reverend Mother : Tell me what happened?
Maria : I was frightened.
Reverend Mother : Frightened? Were they unkind to you?
Maria : Oh no..I was confused. I felt… I’ve never felt this way before. I couldn’t stay. I knew that here I’d be away from it. I’d be safe.
Reverend Mother : Maria, our abbey is not to be used as an escape. What is it you can’t face?
Maria : I can’t face him again.
Reverend Mother : Him? ….Thank you Sister Margaretha.

By saying ‘Him? ….Thank you Sister Margaretha’, Reverend Mother asks Sister Margaretha to leave her alone with Maria. The maxim of relevance consists of an advice to the speaker that he or she should give relevant contribution in the conversation. At that time, Maria who has been a governess in the Von Trapp family suddenly leaves that family without saying goodbye. She tries to escape from the reality that she may be in love with Captain Von Trapp. She thinks that if she runs from that house to the Abbey she will be safe. Maria is not supposed to fall in love with Captain Von Trapp since she is in the middle of becoming a sister in the Abbey. By leaving the family she thinks that she can hide from the reality. When Reverend Mother says that Abbey was not a place to hide, finally Maria wants to tell her the truth. When Maria goes to the Reverend Mother’s office, she is accompanied by Sister Margaretha. Knowing that Maria really wants to tell the truth, Reverend Mother asks Sister Margaretha to leave her with Maria by saying ‘Him? ….Thank you Sister Margaretha’. In fact, Reverend Mother wants to ask Sister Margaretha to leaver her but she says ‘thank you’.If we want to ask other person to leave us, we can say it directly, ‘please, leave us alone’, for example. Saying ‘thank you’ for asking other to go can be said irrelevant. In a short, we can say that Reverend Mother’s utterance is flouting the maxim of relevance. Flouting maxim of relevance causes conversational implicature, which is ‘asking other to go’. By asking Sister Margaretha to go, Reverend Mother wants to know why Maria leaves the Von Trapp family.

Using the same technique, the researcher finds other implicatures caused by the flouting of maxim of relevance. They are: ‘stating jokes’, ‘refusing’, ‘keeping a secret’ and ‘asking other to go’. Using Searle classification, the researcher classifies those implicatures into: (1) representatives: ‘stating jokes’ and ‘refusing’; (2) directive: ‘keeping a secret’ and ‘asking other to go’.

The Maxim of Manner Flouting and its Conversational Implicature
The maxim of manner contains suggestion for the speaker to avoid obscurity expession, avoid ambiguity, be brief and be orderly. The flouting of maxim of manner results in the conversational implicature ‘calming down’ as shown by below dialogue.

(18) Context: Maria dan the Von Trapp children gatheres in Maria’s bed room since the children are afraid of the heavy rain and the sound of thunder and lightning.

( The sound of thunder and lightning….)
Martha : Why does it do that?
Maria : Well….the lightning talks to the thunder and the thunder answer.
Martha : But the lightning must be nasty.
Maria : Not really.
Martha : Why does the thunder get so angry? It makes me want to cry.
(The sound of thunder and lightning again……..)
Maria : Whenever I’m feeling unhappy, I just try to think of nice things.
Brigita : What kind of things?
Maria : Oh, well. Let me see.. nice things…daffodil’s, green meadows, stars, raindrops…….
Conversational implicature arises from the flouting of maxim of manner is ‘calming down’. When heavy rain falls, the Von Trapp children gather in Maria’s bed room because they are very afraid. Hearing the sound of thunder and lighting, Martha, asks a question to Maria why it happens. Maria, undoubtedly, explains that the lightning and the thunder are having a conversation, so they talk each other. Maria’s answer is absolutely incorrect since her answer is ambiguous. In fact, when thunderstorm happens, thunder happens after lightning has occurred. In short way we may say that thunder and lightning are not having a conversation. What really happens is lightning transferred faster than thunder does. If Maria explains the phenomenon scientifically, she thinks that Martha will not understand it. She tries to explain it in a very simple way that is probably easily understood by young children. By giving this ambiguous explanation, Maria is said to flout the maxim of manner since this maxim gives suggestion to the speaker to avoid ambiguity. Flouting the maxim of manner causes conversational implicature. Conversational implicature which occurs from this flouting is ‘calming down’. By giving that kind of explanation, Maria is trying to calm down the children who are afraid of the thunderstorm. Maria knows that the children are afraid so she tries to calm them down.
Using the same technique, the researcher finds other implicatures caused by the flouting of maxim of manner. They are: ‘refusing’, ‘accepting an offer’, calming down’, ‘entertaining’, and ‘pleasing’. Based on Searle classification, those implicatures can be classified into: (1) representative: refusing; (2) commisives: accepting an offer; (3) expressive: calming down, entertaining, and pleasing.

Closing Remark
From the above explanation, it can be concluded that the conversational implicature happened as a result of the flouting of maxim are as follows:
(1) representative : protecting, refusing, pretending, and stating a joke
(2) directive: flirting, asking other to go, keeping a secret
(3) commissives: accepting an offer
(4) Expressives: mocking, entertaining, calming down, and pleasing.
Declarations are not found in the analysis of the conversational implicatures of this movie.

References

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Departemen Dalam Negeri, Badan Pendidikan dan Latihan. Struktur Politik dan Sistem Kepartaian Di Berbagai Manca Negara. 1976. Jakarta: Percetakan Negara Republik Indonesia.
Departemen Penerangan Republik Indonesia. 1989. Mengenal Eropa. Jakarta : Percetakan Negara Republik Indonesia.
Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics: Implicature, Presupposition, And Logical Form. Florida : Academis Press.INC
Grice, H. Paul. 1975. Logic and Conversation dalam Davis S. Paragmatics: A Reader. New York: Oxford University Press.
Halliday, M.A.K, and Ruqaiya Hasan, 1989. Language, Context, and Text: Aspect of Language in a Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman
Levinson. 1991. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Lyons, Jhon.1995. Semantics. Volume 1. Cambridge: Cambridge University Press.
Mey, Jacob L. 1994. Pragmatics: An Introduction. Oxford UK & Cambridge USA: Blackwell.
Noth Winfried, 1990. Handbook of Semiotics. Indiana: Indiana University Press.


CDA : Wacana Sentral & Periferi

CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS TERHADAP WACANA POLITIK PLURALIS PRANCIS : MEMPERSOALKAN SENTRAL DAN PERIFERI

Wening Udasmoro
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
weningw@yahoo.com


Abstract
The aim of this paper is to analyse the various discourse of French Ministry of Foreign Affairs augmented on its ideology of promoting pluralism in the country, which is strategically marketed through the Ministry’s magazine entitled Label. The social actors representing the ideology of the Ministry raise arguements advancing pluralism as an ideal part of France foreign policy. The discourses evolving from these actors arguments however, emphasized the dicotomic perspective of French centrality towards the others (the Southern countries) as pheriphery. The perspective of pluralism politics and the relationship between central and periphery are the focus of this article. In order to understand the underlying meaning of the arguments, Critical Discourse Analysis is used to illuminate the discourses of these actors. The analysis revealed that the ideal of pluralism although viewed as a good way in trying to position other countries as in oneness as a coherent group is in fact contradictory because it creates a gap or distinction between France considered as central and other countries as in the periphery.

Keywords: discourse, central, periphery, pluralism.


Pendahuluan
Pluralisme adalah sebuah wacana yang secara historis sudah terjadi sedemikian lama dalam masyarakat Prancis. Negara ini menjadi salah satu negara tujuan imigrasi sejak sebelum paska kolonialisme (Perang Dunia Kedua). Sebagai contoh, Presiden Prancis saat ini, Nicolas Sarkozy, adalah generasi ketiga dari seorang imigran Polandia. Setelah akhir kolonialisme, berbondong-bondong imigran dari Aljazair, Maroko, Senegal dan dari negara-negara francophone bekas jajahan Prancis (Larousse, 1989) masuk ke negeri ini dengan berbagai motif.
Gelombang imigrasi ini sebetulnya merupakan bentuk gelombang balik yang secara rasional dapat dipahami sebagai hal yang wajar apabila dilihat dari aspek trans-nasionalitas. Pada masa-masa kolonial, negara-negara yang terletak di benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika adalah eldorado (tambang emas secara riil maupun konotatif) bagi orang-orang Eropa. Dalam Voyage de Paris à Java, Balzac dapat diberi interpretasi bahwa pengarang ini menjelaskan bahwa negara-negara tersebut merupakan tempat tujuan, terutama bagi orang-orang Eropa yang tersingkir (Udasmoro, 2007). Mereka yang pensiun, artis-artis yang tidak dihargai di Eropa, menemukan surga di negara-negara ini (Balzac, 1995).
Setelah kolonialisme dan dengan perpindahan situs eldorado dari negara-negara Selatan ke Utara, gelombang migrasi berpindah ke wilayah-wilayah Eropa. Benua ini menjadi tempat pencarian eldorado bagi mereka yang tidak mendapatkan kepuasan di wilayah mereka atau mengalami kemiskinan serta keterusiran akibat persoalan politik. Eropa menjadi surga baru bagi yang memiliki kesempatan untuk berimigrasi ke sana.
Pada masa kolonial, ada usaha-usaha penolakan dari komunitas lokal terhadap kedatangan para imigran dari Eropa karena persoalan eksploitasi sumber daya alam, kekerasan fisik dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. Persoalan nasionalisme menjadi gerakan yang mewabah di berbagai belahan dunia yang disebutkan oleh Ben Anderson sebagai immagined community (1983). Seakan-akan secara serentak, negara-negara tersebut memproklamirkan kemerdekaan. Paska kolonialisme, imigrasi orang-orang dari benua lain ke Eropa juga menimbulkan berbagai macam argumen antara yang pro dan kontra. Perdebatan-perdebatan bersifat diskriminatif dan rasis menjadi satu wacana besar invasi kolonial Pasca Perang Dunia Kedua. Wacana-wacana rasis ini menjadi satu aspek yang banyak diteliti oleh ahli-ahli wacana seperti Van Dijk (1988) atau Fairclough (1992; 1995a; 1995b)
Dalam konteks sosial, kultural dan politik Prancis, discourse rasisme masih sering muncul dalam wacana-wacana aktual. Salah satu Partai Politik, yakni National Front yang merupakan partai yang radikal dalam persoalan penerimaan terhadap orang asing masih eksis dan bahkan memenangkan salah satu tahap pemilihan pada Pemilu Presiden Prancis pada tahun 2004. Partai ini seringkali dikategorisasikan berhaluan rasis karena memiliki potensi rejeksi terhadap keberadaan orang-orang asing di Prancis.
Seperti telah dijelaskan di atas, gelombang besar imigrasi orang-orang benua lain ke Eropa menjadi permasalahan tersendiri di Prancis. Orang-orang Afrika serta orang–orang Magreb (Aljazair atau Maroko) yang rata-rata beragama Islam dianggap merupakan ancaman bagi keberadaan Eropa yang ingin dikonstruksi sebagai Eropa yang murni (Putih, Kristen dan maju). Sebagai akibatnya, keberadaan imigran yang tidak memiliki kategori tersebut (Kulit berwarna atau hitam, Muslim dan miskin) menjadi eksklusif (out group) yang kemudian dianggap sebagai beban secara ekonomi, mencemari secara biologis (faktor penolakan terhadap percampuran darah biologis) (Yuval-Davis, 2003), menjadi ancaman secara kultural (tradisi Kristen) dan berbahaya di masa datang dari sisi politik. Pandangan ini berpengaruh terhadap hubungan Prancis dengan negara asal orang-orang tersebut yang dalam konteks Prancis sebagian besar berada di wilayah Francophone.
Wacana ini berkembang dan menjadi kontroversi di antara orang-orang Prancis sendiri yang kemudian memecah mereka ke dalam kotak-kotak ideologi yang berbeda. Polemik yang panjang ini juga membawa dampak secara psikologis maupun kultural dan sosial bagi para imigran maupun keturunannya. Peristiwa pembakaran besar-besaran pada tahun 2007 ketika saat itu terjadi amuk massa besar-besaran di Prancis yang disinyalir dimotori para imigran dan keturunannya merupakan klimaks tuntutan anti rasisme terhadap mereka.
Keberatan terhadap imigran Muslim, misalnya, setelah tragedi World Trade Center pada tanggal 11 September 2001, memunculkan stigma-stigma baru terhadap imigran dari wilayan Magreb dan wilayah-wilayah Arab lainnya dan bahkan label-label teroris bagi negara yang kebanyakan adalah Islam atau berpenduduk mayoritas Islam. Travel warning ke Indonesia oleh beberapa negara Barat karena dinilai berada dalam kategori ini adalah contohnya. Peristiwa pembakaran mobil di atas pun pun merupakan signal yang menunjukkan masih adanya tensi antara in group yang terinklusi serta berfungsi sebagai sentral, yakni warga Prancis (asli) dan out group yang tereksklusi atau sebagai periferi yakni para imigran. Selain itu, inklusivitas dan eksklusivitas serta sentral dan periferi itu pun berlaku juga bagi konteks yang lebih luas, yakni Prancis dan orang-orang atau negara-negara lain sumber imigrasi tersebut, terutama Afrika dan Magreb yang merupakan asal imigrasi terbesar Prancis. Dampak psikologis yang besar terhadap negera-negara tersebutlah yang kemudian ingin dikoreksi oleh Prancis dengan kebijakan-kebijakan politiknya.
Berbagai usaha dilakukan untuk memperkenalkan image baru tersebut antara lain dengan memberikan perhatian pada masalah integrasi antara orang Prancis yang dianggap asli dan para pendatang sudah banyak dilakukan, antara lain oleh Kementrian Luar Negri Prancis. Usah lain adalah dengan memperkenalkan visi dan misi baru pluralisme kepada negara-negara lain terutama negara francophone. Salah satu bentuk riil yang dilakukan adalah dengan menerbitkan secara berkala sebuah majalah, berjudul Label yang dapat diperoleh dengan tanpa biaya. Majalah ini diproduksi dalam bahasa Prancis, Inggris, Cina, Portugis, Jepang, Rusia dan juga Arab yang dicetak ratusan ribu eksemplar dan didistribusikan di dalam maupun di luar negri Prancis. Media cetak dalam hal ini digunakan untuk menjelaskan aspek-aspek ideologis berupa pluralisme dan multikulturalisme serta kesadaran bahwa keberadaan para imigran serta bangsa-bangsa lain terutama francophone adalah realitas dalam kehidupan dan sejarah bangsa Prancis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara historis dan dalam realita sosial aspek-aspek rasisme dan diskriminasi masih ada sebagai bentuk perpetuasi dan reproduksi terhadap nilai-nilai lama yang ada dalam konteks masyarakat Prancis. Namun, sejalan dengan kesadaran akan nilai-nilai plural dan multikultural yang tidak dapat dihindarkan yang menjadi persoalan, seberapa jauh discourse yang merupakan ideal untuk menjadi Prancis yang plural itu diekspresikan dalam majalah tersebut. Bagaimana persoalan sentral dan periferi diposisikan dalam ekspresi tersebut. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi discourse pluralis yang ditonjolkan oleh majalah Label yang notabene diterbitkan oleh Kementrian Luar Negri Prancis dengan memfokuskan pada pemosisian sentral dan periferi dalam hubungannya dengan the others terutama Negara lain dalam hubungannya dengan Prancis.

Critical Discourse Analysis, Power dan Ideologi
Penelitian ini menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai usaha untuk mengeksplorasi lebih jauh discourse pluralis tersebut. Critical Discourse Analysis (CDA) adalah sebuah bentuk penelitian terhadap discourse (wacana) yang mempelajari cara masyarakat menggunakan kekuasaan, dominasi serta ketidakadilan yang direproduksi dan langgeng dalam masyarakat itu karena adanya teks dan pembicaraan (talk) dalam konteks sosial dan politik (Van Dijk, 1988). Dalam kelanjutan pemikiran tersebut, image, gambar, gerak tubuh juga menjadi perhatian dalam discourse analysis. Beberapa pemikiran dari Critical Discourse Analysis ini sudah ada sejak masa Frankfurt School sebelum Perang Dunia Kedua. Fokusnya adalah pada bahasa dan discourse yang sering dirujuk sebagai Critical Linguistics yang berkembang di Inggris dan Australia pada akhir 1970-an. CDA juga merupakan counterpart perkembangan kritik dalam bidang sosiolinguistik, psikologi dan ilmu sosial pada awal 1970-an. Dalam disiplin-disiplin ini, CDA merupakan reaksi terhadap paradigma dominan formal yang kadang bersifat asosial dan tidak critical terhadap bahasa pada tahun 1960-an dan 1970-an.
CDA bukanlah sebuah mazhab atau spesialisasi tetapi bertujuan untuk menawarkan mode atau perspektif baru dalam penteorisasian, analisis dan aplikasi di berbagai bidang keilmuan. Ada perspektif kritis di berbagai disiplin tersebut dalam bentuk analisis percakapan, naratif, retorik, stilistik, sosiolinguistik, etnografi, analisis media dan sebagainya. Yang krusial dari CDA adalah kesadaran eksplisit akan perannya dalam masyarakat. CDA merupakan kritik terhadap value free science (Van Dijk, 1988) yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral dan objektif. Para ahli wacana meyakini bahwa ilmu pengetahuan secara inheren merupakan bagian dan dipengaruhi oleh struktur sosial dan diproduksi dalam interaksi sosial (Fairclough, 1995a; Scott, 1988).
CDA melihat bahasa (tulisan, percakapan, bahasa tubuh) sebagai social practice yang kemudian disebutkan dengan istilah wacana. Joan Scott (1988) secara lebih luas mendefnisikan wacana atau discourse sebagai sesuatu yang bukan hanya sebatas bahasa (language) atau teks semata tetapi struktur spesifik dari pernyataan-pernyataan, istilah-istilah, kategori-kategori dan kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara historis, sosial dan institusional. Dengan mendeskripsikan wacana sebagai praktik sosial, ada implikasi-implikasi yang muncul, yakni dialektika hubungan antara kejadian diskursif tertentu dengan situasi serta institusi dan struktur sosial yang melingkupinya.
Van Dijk (1988) berpendapat bahwa paling tidak ada tiga unsur yang difokuskan dalam penelitian dengan model CDA. Pertama adalah melihat struktur argumen dari sebuah deskripsi. Sebagai contoh, adalah melihat argumen penulis atau wartawan terhadap kasus tertentu. Penulis, pengarang, wartawan, editor koran ketika menulis sebuah tulisan tidak terlepas dari argumen yang mereka bangun berdasar pengetahuan serta ideologi-ideologi yang mereka miliki. Kedua, melihat penjelasan-penjelasan (asumsi-asumsi), norma-norma dan nilai-nilai yang dipresentasikan, misalnya setiap surat kabar dalam kasus yang sama dapat berbicara secara berbeda tergantung ideologi yang diikuti. Ketiga adalah melihat style dan gaya retoriknya, misanya penggunaan gaya bahasa, pemilihan nama atau lexical choice-nya.
Secara operasional, CDA melihat fenomena-fenomena ketimpangan, ketidakseimbangan, ketidakadilan ataupun keberpihakan dalam satu fenomena yang ditampilkan. Topik-topik yang seringkali diangkat adalah marginalitas terhadap kelompok minoritas, persoalan seksisme, rasisme, diskriminasi, kemiskinan dan aspek-aspek ketimpangan kelas maupun gender. Bentuk penelitian analitis terhadap wacana ini kemudian mengkaji kasus-kasus dominasi, eksploitasi, ketidakadilan yang terlihat dari text (tulis) dan talk (ujaran/lisan) dalam konteks sosial dan politik. Segala bentuk deskripsi dan penjelasan diposisikan pada permasalahan sosial dan politik.
Dengan demikian, pendekatan ini berargumen bahwa bahasa bukanlah sekedar produk netral yang hanya dilihat secara struktural unsur-unsur di dalamnya. Dalam bahasa, ada nilai-nilai kekuasaan serta hubungan kekuasaan yang bersifat ideologis dan historis. Pemroduksian bahasa pun bersifat kultural. Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal dan komunikasi dianggap hanya merupakan level mikro. Sementara itu, power, dominasi, ketidakadilan dalam realita sosial merupakan level makro dari analisis. CDA berfungsi memediasi antara teks dan masyarakat. Analisis diskursif bersifat interpretatif dan explanatory dengan melihat sumber-sumber fokus pada aspek-aspek power, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras, diskriminasi, kepentingan, reproduksi, sosial struktur atau aturan sosial. Fungsi CDA yang mengubungkan level mikro dan makro tersebut juga memosisikannya sebagai pendekatan yang multisiplin. Peneliti dituntut untuk memahami persoalan-persoalan sosial, kultural dan politik agar hubungan antara yang makro dan yang mikro tersebut dapat dipahami.
Penelitian ini merupakan analisis terhadap salah satu edisi majalah Label yang terbit pada Trimester 2006 Nomor 64 ketika majalah tersebut membahas secara khusus mengenai persoalan pluralisme. Yang menjadi data pada penelitian ini pertama adalah argumen-argumen aktor sosial dan politik yang diwawancarai pada edisi tersebut mengenai pluralisme dan posisi Prancis dalam hubungannya dengan Negara-negara lain, terutama negara francophone.
Penelitian ini adalah penelitian CDA dengan model kualitatif dengan menggunakan unit analisis berupa paragraf (Fairclough, 1995a) yang berasal dari argumen tokoh atau posisi majalah di atas. Namun, dari unit analisis paragraf tersebut, kalimat maupun kata merupakan bagian yang dianalisis. Aspek-aspek yang menjadi unit analisis itu dipilih dalam hubungannya dengan komentar, pemberitaan atau pendapat mengenai pluralisme di Prancis. Unit-unit analisis tersebut dianalisis berdasarkan pemosisian sentral dan periferi (Said, 1978) terhadap Prancis dan Negara lain atau terhadap orang asing atau imigran di Prancis. Persoalan sentral dan periferi ini diangkat sebagai sebuah studi paska kolonalisme oleh Edward Said pada tahun 1978 untuk pertama kalinya dalam bukunya Orientalism. Said berargumen bahwa masih ada pemosisian sentral dan periferi dalam konteks Negara penjajah dan terjajah karena yang terjajah memang secara historis, sosial dan kultural adalah bentukan sentralitas Eropa tersebut.
Aspek yang diberi perhatian pada tulisan ini pertama adalah argumen dasar tentang we and them (kami dan mereka) yang muncul dalam unit-unit analisis tersebut. Kedua adalah pemilihan kata-kata yang dijadikan dasar argumentasi dari penulis atau narasumber. Pemilihan kata menjadi aspek sangat penting dalam CDA karena kata yang dipilih sudah memiliki makna sesuai dengan ideologi dan power pengguna kata tersebut.

Idealisme, Ide Sentral dan Periferi
Sebagai sebuah majalah pemerintah, Label diasumsikan mewakili ideologi pemerintah yang sedang berkuasa, dalam konteks ini adalah pemerintahan Jacques Chirac. Kenyatan bahwa majalah ini dikeluarkan oleh Kementrian Luar Negri dengan cetakan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab, Portugis, Cina dan Jepang serta Rusia mengimplikasikan pembaca majalah tersebut. Distribusi secara internasional ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia serta ke seluruh Negara francophone di satu sisi merupakan usaha menjelaskan posisi Prancis dalam hal pluralisme tetapi di sisi lain merupakan suatu strategi membentuk opini publik bahwa Prancis memiliki perhatian terhadap persoalan pluralisme, di dalam negri maupun di luar negri.
Namun, usaha-usaha tersebut apabila dilihat dari discourse-discourse di dalam majalah Label masih menunjukkan perbedaan argumen dari tokoh atau posisi majalah tersebut dalam hal sentralitas dan periferi dalam hubungannya dengan yang lain “the others” yang dalam hal ini adalah Afrika dan Magreb. Salah satu program yang dikemukakan dalam usaha membentuk ide pluralisme di Prancis itu adalah CultureFrance. Di salah satu wawancara dengan Presiden CultureFrance, Jacques Blot, dituliskan cuplikan wawancara ketika wartawan menanyakan tentang yang akan dilakukan CutureFrance dalam menanggapi inisiatif kementrian Luar Negri Prancis untuk menjadi penjaga keberagaman budaya internasional.

CultureFrance a pour vocation de prendre les initiatives de ce département à son compte et de leur donner une plus grande ampleur. La France ne peut pas avoir été la championne à l’Unesco de la diversité culturelle, avoir joué un rôle moteur pour la signature de cette convention et ne pas faire entrer dans les faits ce qu’elle a voulu mettre dans les textes. CultureFrance contribuera à la sauvegarde de la diversité culturelle, d’une part, en apportant son expertise aux pays qui ont moins de moyens que nous pour faire connaître leur patrimoine culturel et, d’autre part, en les aidant à créer chez eux des conditions propices à la création culturelle.

Di Departemen ini (Luar Negri) CultureFrance mengambil inisiatif dengan memberikan kelonggaran yang lebih besar. Prancis tidak dapat menjadi juara di Unesco dalam hal keberagaman budaya, menjadi motor penandatanganan konvensi dan tidak dapat menjadi yang memasukkan ini dalam peraturan. CultureFrance berkontribusi dalam menjaga keberagaman budaya, di satu sisi dengan mengirimkan ahli-ahlinya ke negara-negara yang tidak memiliki biaya untuk memahami warisan budaya mereka dan di sisi lain dengan cara membantu mereka menciptakan kondisi yang bagus dalam penciptaan budaya.

Secara umum terlihat tidak ada yang perlu mendapatkan perhatian dalam paragraf tersebut. Namun, apabila dilihat dari aspek argumen tentang kami dan mereka (Negara lain) terlihat adanya ketimpangan tersebut. Dalam konteks ini, ada tiga subjek yang muncul. Pertama adalah Prancis (direpresentasi oleh CultureFrance dan Jacques Blot sebagai narasumber). Kedua adalah Unesco yang merepresentasi lingkup internasional secara luas sebagai salah satu badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketiga adalah Negara-negara yang dikategorisasiskan sebagai tidak atau kurang memiliki biaya serta membutuhkan bantuan.
Dalam hubungan dengan Unseco, we (kami atau kita) Prancis bersifat subordinat sehingga Prancis merasa tidak berhak menyatakan bahwa mereka adaah motor atau juara dalam persoalan keberagaman budaya. Namun, dalam hubungan dengan Negara-negara lain, yang dalam hal ini adalah Negara yang kurang mampu, maka mereka bertindang sebagai yang superior. Prancis dalam hal ini menjadi yang mengirimkan tenaga ahli dan yang memberikan bantuan atau menjadi donor dalam istilah diplomatiknya. Superioritas di sini memunculkan asumsi bahwa untuk persoalan keberagaman budaya, Prancis perlu memikirkan untu mendidik dan men-support Negara-negara lain.
Dalam konteks tersebut, kalimat dengan mengirimkan ahli-ahlinya ke negara-negara yang tidak memiliki biaya untuk memahami warisan budaya mereka menimbulkan asumsi bahwa Negara-negara lain tersebut tidak memiliki tenaga ahli untuk mereservasi warisan budayanya. Kalimat terakhir dengan cara membantu mereka menciptakan kondisi yang bagus dalam penciptaan budaya memiliki konotasi yang sama. Negara-negara lain yang tidak memiliki dana tersebut perlu dibantu karena tidak memiliki aspek-aspek untuk penciptaan budaya mereka.
Dalam keberagaman budaya ini, Prancis memosisikan diri sebagai sentral dengan ilmu pengetahuan (tenaga ahli) dan dana yang dimiliki. Sementara itu, Negara-negara lain, yang dalam hal ini adalah Negara yang dianggap tidak mampu adalah sebagai periferi sehingga untuk masalah konservasi warisan budaya pun tergantung pada bantuan Prancis.
Contoh lain adalah bagian editorial yang dalam hal ini ditulis oleh Phillippe Douste-Blazy, Mentri Luar Negri Prancis waktu itu. Editorial, menurut Van Dijk (1988), merupakan cermin posisi pemilik atau manager dari majalah. Dengan demikian, bagian editorial di sini merupakan cermin ide atau pikiran pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Mentri Luar Negri Prancis. Judul dalam editorial tersebut adalah: La Fracture Sanitaire entre le Nord et le Sud est l’une des menaces les plus preoccupants yang terjemahannya adalah Keretakan (Ketimpangan/Perbedaan) Kesehatan antara Utara dan Selatan adalah ancaman paling mengkhawatirkan. Dari judul tersebut, pemilihan kata fracture menjelaskan dengan signifikan adanya keadaan tidak seimbang yang amat drastis. Kata perbedaan atau jarak mungkin bisa dipakai tetapi pemakaian kata fracture di sini menunjukkan adanya masalah yang sangat parah.
Kalimat tersebut di atas yang menjadi judul artikel dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikut ini :

Au-delà de la question éthique ou du devoir moral, les dirigeants prennent maintenant conscience de l’impact éminement politique des questions de pauvreté et de santé publique. Un Etat qui n’a ni système de santé, ni politique de prévention, ni accès aux médicaments est un pays fragilisé et destabilisé.

Mengenai persoalan etis atau tanggung jawab moral, para pemimpin sadar akan dampak politik permasalahan kemiskinan dan kesehatan publik. Negara yang tidak memiliki sistem kesehatan, politik prevensi ataupun akses pada obat-obatan adalah negara yang lemah dan tidak stabil

Kalimat pertama mengenai persoalan etis atau tanggung jawab moral, para pemimpin sadar akan dampak politik permasalahan kemiskinan dan kesehatan publik memberikan gambaran tentang fracture antara negara Utara dan Selatan. Pada kalimat di bawahnya yang mengatakan bahwa sebuah negara yang tidak memiliki sistem kesehatan, politik prevensi ataupun akses terhadap obat-obatan adalah negara yang lemah dan tidak stabil menjelaskan dikotomi Utara-Selatan tersebut. Dengan demikian, pembicara sebelumnya berbicara tentang Utara dan Selatan dalam hubungannya dengan masalah kesehatan tetapi kemudian dihubungkan dengan masalah kemiskinan yang memperlihatkan dengan jelas pemosisian bahwa yang memiliki tanggung jawab moral tentu saja adalah yang kaya (Utara) dan yang perlu mendapat perhatian adalah yang miskin (Selatan).
Kembali dari paragraf di atas terlihat bahwa ada bentuk-bentuk kepercayaan diri dari Prancis yang merasa memiliki tanggung jawab etik dan moral dalam permasalahan kemiskinan dan kesehatan publik. Yang menjadi persoalan, kembali persoalan we dan them ini secara tidak langsung muncul di sini. Ketika Mentri berbicara tentang sistem, maka dia berbicara tentang sistem sebuah negara yang dia anggap miskin, tidak memiliki akses untuk kesehatan dan dalam kondisi yang tidak stabil. Mentri ini berbicara dengan standar Prancis yang dengan demikian menganggap bahwa sistem negara lain tersebut tidak sepadan dengan Prancis sehingga negara ini seperti memiliki tanggung jawab etik dan moral untuk memikirkan hal tersebut.
Sebuah ide lain dikemukakan oleh Direktur CultureFrance waktu itu Olivier Poivre d’Arvor. Ia mengatakan :

Je suis convaincu que la France a besoin de l’Afrique, des cultures africaines, pour féconder ses pensées, son imaginaire, comme cela s’est déjà passé au début du XX siècle avec le mouvement cubiste. C’est pourquoi, au cours des dernières années, l’Afaa a pris une part grandissante dans l’organisation des manifestations culturelles africaines. Nous avons soutenu la récente exposition « Africa Remix » (2005) à Beaubourg ….

Saya yakin bahwa Prancis membutuhkan Afrika, budaya Afrika untuk menyuburkan pikiran dan imajinasinya, seperti yang telah terjadi pada awal abad ke-20 dengan gerakan cubiste. Itulah mengapa, tahun-tahun belakangan ini, l’Afaa mengambil peran yang besar dalam organisasi untuk manifestasi budaya Afrika. Kami mendukung pameran saat ini « Africa Remix » (2005) di Beaubourg …

Di antara usaha dan perjuangan untuk memberikan tempat bagi Afrika, tampak masih adanya sentralitas dan periferi terhadap Afrika. Sebagai contoh, kalimat Saya yakin bahwa Prancis membutuhkan Afrika, meskipun ada kata keyakinan, sebetulnya justru memperlihatkan adanya keraguan sehingga pembicara merasa perlu menekankan kata keyakinan tersebut. Perubahan dari kata Prancis menjadi nous atau kami menunjukkan claim yang mengindikasikan peran we dalam hubungannya dengan them yakni Afrika. Ada keinginan untuk meng-in group kan Afrika tetapi peng-in-group-an tersebut masih sebatas usaha dan cita-cita. Kalimat, itulah mengapa l’Afaa mengambil tempat dalam organisasi untuk manifestasi budaya Afrika merupakan usaha menunjukkan Prancis yang dalam hal ini Afaa sebagai subjek.

Penutup
Ada perbenturan-perbenturan dan kontradiksi-kontradiksi yang muncul dari discourse pluralis serta menonjolnya pemosisian sentral dan periferi antara Prancis dalam hubungannya dengan Negara-negara lain dalam majalah Label tersebut. Perbenturan terjadi karena di satu sisi ada persoalan ideal yang ingin dituju dan di sisi lain ada persoalan realita bahwa ada pemosisian yang belum seimbang secara psikologis antara We, yakni Prancis dan Them, yakni negara lain. Persoalannya bukan karena realitas bahwa mereka berbeda tetapi karena belum adanya mindset yang mendukung, yakni ide bahwa keberbedaan adalah hal tidak luar biasa. Pengeksplisitan keberbedaan ini sebenarnya bertentangan dengan konsep pluralisme yang ingin dicapai karena justru menimbulkan kontradiksi, yakni menunjukkan pluralisme tetapi dalam kategori-kategori yang berbeda secara tidak seimbang, yakni adanya sentral dan periferi yang masih kuat.
Pluralisme yang ingin dikembangkan merupakan usaha merespon kontekstualitas dengan dasar-dasar asumsi bahwa menjadi plural adalah sebuah realita. Namun, pluralisme tersebut masih kuat dalam tataran discourse karena peng-in group-an terhadap yang lain (negara-negara lain) justru menimbulkan adanya gap antara yang we, yakni prancis, dan them, yakni bangsa-bangsa francophone lain. Keinginan untuk merangkul tersebut berimplikasi pada pemosisian yang bersifat dominatif dan subordinatif. Selain itu, aspek-aspek pluralisme menjadi bentuk ideal yang ingin dicapai tetapi gap-gap dikotomis we dan them serta sentral dan periferi yang masih jelas ini sebenarnya berjalan kontradiktif dan tidak paralel maupun terintegrasi dengan ide pluralisme itu sendiri.


Daftar Pustaka

Anderson, Benedict, 1983. Imagined Communities. London : Verso
Balzac, H. 1995. Voyage de Paris à Java. Paris : Les Editions du Paçifiques.
Larousse, Petit. 1989. Petit Larousse illustré. Paris : Librairie Larousse.
Faiclough, Norman. 1992. Language and Power. London & New York : Longman.
Fairclough, Norman. 1995a. Critical Discourse Analysis : the Critical Study of Language. London & New York : Longman.
Faiclough, Norman. 1995b. Media Discourse. London : Edward Arnold.
Scott, Joan Wallach. (1988). “Deconstructing Equality-Versus-Difference: Or, the Uses of Poststructuralist Theory for Feminism”, in Feminit Studies 14, No 1 (Spring), pp. 33-51.
Said, Edward. 1983. Orientalism. New York : Random House
Udasmoro, W. 2007. ‘Javanese Women from Balzac’s Perspektif in Voyage de Paris à Java : Imaginary Domination and Subordination’ (in Indonesian), in Semiotika Vol 8 (1) Januari-Juni, pp. 1-10.
Van Dijk, Teun. 1988. News as Discourse, Hillsdale: NJ Erlbaum
Yuval-Davis, Nira. (2003), Gender & Nation, London: Sage Publications.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Alergi melepas luka

Maka sakitku meluka.
meremas organ dalam tubuhku,
benamkanku dalam ketiadaan.
Tiada lagi yang bisa kugapai…
Aku betul-betul kehilangan semuanya.
Dari cinta itu.
Maknanya aku seperti hilang jiwa.
Dan sisanya jadi kehampaan yang sempurna.

Tuhan, benarkan cinta itu ada?
Buktinya luka2 ini selalu hadir.
Dan aku…tidak bisa abai.
tak bisa lalai…
meski aku kadang sesali…
ku syukuri…

toh, aku kembali mendarah, mendera, meluka.
Sempurna dalam benam misteri derita.

Alergi Melepas Kesadaran

Maka sinarku adalah silaumu,
Pantaslah kau menyingkirkannya.
Pandangan menyipit. Kepala menunduk.
Atau kau berpaling dan pergi.
Sebagai jalan lepas dari silau.

Mestinya kukurangkan intensitas pendar cahaya.
Ketimbang buang energi sia-sia.
Terlampau terang justru buramkan citra.
Pendarkan wujud kedlaam tarikan-tarikan
Bayang berkas.

Alergi Menentang Bayang

Diri adalah maujud prismatis.
Dengan relasi sebagai bayangan refleksi
Maka apapun yang terungkap dalam relasi.
Tidak lebih dari wujud prismatis,
Bila memang ada bayang indah tercitra,
Bersyukurlah, maknya diri telah tampil baik di satu sisi.

Prismatis melahirkan keragamana bayang
Dari yang terbaik hingga mendapat kemungkinan
Bayang terburuk.
Maka tidak lain, baying dan prisma adalah
Dialektika yang saling mewujudkan.

Pantaskan bila kita hanya menjunjung
Dan memandang berulang dengan bangga
Pada bayang menawan…
Dan menganggap refleksi yang buram
Sebagai kenyataan yang khianat,
Dampak deviasi tak normal.
Layaknya monyet menendang.
Menghancurkan kaca yang jujur menunjukkan wajah jeleknya?

Alergi melepas siapa

Tidak ada arti dan pengaruhnya kan?
Pengarang menemukan ajalnya,
Saat huruf uang ia tuangkan
telah dilempar ke tengah publiknya.
Seperti laku diri
Yang tak butuh revisi saat proses aksi usia
Membiarkannya menjadi fenomena dengan potensi seribu refleksi…
Atau dilupakan menjadi cercah schemata memori.

Alergi – Keraguan

Kapan coba?
Ribuan ragu runtuhkan diri,
Rasukkan selaksa resah di kalbu.

Alergi Melepas Lemas

Aku sendiri ragu soal semua yang aku lihat.
Atau bagian darinya yang kutatap dengan seksama.
Meresapi makna dan arti di baliknya.
Serta implikasi sebagai refleksinya.
Tindak sebagai reaksli lewat terabaikan
Meski komprehensi sudah lelah kukupas
Dan kucerna.

Berulang kali kuingatkan diri
Atas tindak yang berulang-ulang terencana.
Menjadi niat suci yang terlalu tinggi
Tertancap di horizon angan…
Terlalu utopis untuk mewujudkan.
Menjadi langkah konkret yang sepenggal terjamah.
Tapak demi tapak terjejak.

Helaan nafas panjang di ujung kesadaran
Menjadi kompensasi lazim atas lalainya kewajaran.

Lara Duka_Getar 6,7 Richter

Maka duka adalah duka.
Masihkah kau bertanya?
Duka adalah tangis yang terlunta, sesengguk tanpa suara.
Teriak tanpa menganga.
Terkatup beku, menatap pilu.

Apa? Tak ada sisa kan?
Lantak tertinggal.
Luluh mengganjal hati lebam.
Pijakan tak ada.
Jangkauan tiada.
Melayang dalam hampa duka,
Tenggelam banjir airmata.

Bisakah tunduk doa kami meluruskan.
Pandang yang carut marut goyang.
Tuhanku, Allahku, Rabku…
nyatanya hanya Kau yang kuasa…

Perkenankan aku sekali lagi bersujud dalam duka…
Ampunkan mereka yang Kau ambil hari ini…
Sangat banyak Tuhan…
Tapi, ampuni semua…
Kuatkan hati dan jiwa yang menanggung duka seribu lara…
Jernihkah kalbu untuk menelan segalanya hidayah.
Jangan jadikan duka ini menjadi rabun hati atas nikmat yang tanpa tepi…
Perbaikilah akhlak dan Ibadah kami agar jauh dari murkaMu, dzat yang Maha Kasih.

Pieces of whereby


Peaces on heart.
Pieces of heart. Pieces of Mind.

Where power draws, pulls, and pushes the entity into
Unpredicted, unprecedented corners and directions.
Putting soul on the blank colorless empty.

Lonely in the Crowd

Things should fix, sweats are wet like floods,
Lonely is stab, crucifying all guts,
Roaming sounds are prison of the crowd jailing the fainted heart.
Threatening with haunting shadows of beholding eyes, suspecting mouths.
The cries and shouts of encounters just springs the jealousies.
Changes and moves are just silencing each word to the corner of the wordy world

...

Hilang. Tapi aku yakin ada.
Hanya terasa jauh dan tak tersentuh.
Karena jauhku kan jadi dekatnya.
Gapaiku lelah, puas sentuh peluknya.
Mengembang.tanpa terpegang.
Menjadi mantap dan kemutlakan memilikinya.

Apa makna tiada atau hilang.
Ketika hilang menjadi ada bagi orang lain.
Pergi adalah datang.kecewa adalah senang.
Hilang berarti menemukan.
Kecewa berarti awal untuk gembira.
Layaknya hidup yang menuju susut kematian.

Tiada oposisi yang distink dan diskrit.
Perbedaan hanyalah ujung dan pangkal dari sama.
Ujung dan pangkal juga mewakili realitas yang sama.

Hanya kategorisasi logika bahasa manusia.
Sama seperti besar dan kecil yang teramat relative
tergantung operasi relasi yang diputuskan subyek.Seperti bedug yang disamakan gede dengan sepotong kecil roti.

Akhirnya…

Ya. Seperti si kecil yang menemukan mainan kesayangan.
Yang beberapa hari ia tangisi.
Bila boneka, maka dipeluknya hingga ia pulas tanpa sentuhan ibunya.

Maka alir temukan telaga muara.
Tumpah ruah terbahak sepuasnya.

Mungkin kita perlu ruang kecil.
Sembunyi dari kerumun.
Untuk sebentar berpagut.
Dan lama berpeluk.

Biar airmata tumpah di pundak.
Lepaskan beban hati yang menanggungnya tiada kita mampu.
MAU?

Ragu dalam Harap…

Maka kapan cinta itu bisa kutanyakan.
Membiarkan hati tenang dalam bening telaga.
Menikmati jalinan ombak yang terangkai oleh sepoi.

Biar

Tunjukan saja aku jalan
Atau biarkan kaki melangkah
Tanpa kepala bersandar.
Dan aku manusia merdeka.
Dengan seribu arah.
Daripada terpaku bersama waktu menjadi dungu.
Aku yakin aku mampu.

Takut

Aku takut ini pertanda buruk…
Pena, bolehkah aku bicara?
Ya, dengan jemari.
Karena mulutku masih terkatup.
Hati ini bimbang untuk turut membiru,
Memuram durja, atau
Memutih menunggu murka?
Lubuk luruh, lirih tulus mendoa.

Narsis

Setiap hati dan diri.
Sebenarnya selalu ingin dipuja.
Ia akan mengelak meski aib telah terbukti.
Ia akan menerima ribuan dusta yang memuja.
Terlelap nikmat dalam buaian manis kata.

Muak

Tahukah arti muak?
Adalah Tanya tanpa terjawab.
Menunggu tiada tentu.
Lelah di antara gelak tawa.
Lapar di tengah perut kenyang.
Hati yang tidak tahu.
Otak yang hilang akal.

Tahta

Tahta?
Kau percaya itu.
Kaulah dewi dari tahta tertinggi dalam paseban agung hati.
Dan kehampaan kini membahana.
Meninggalkan singgasana itu tak bertuan.
Layaknya umat tanpa kiblat.

Diam

Dan terpaku terhantam dingin kota.
Kesepian di tengah pikuk.
Sendiri di antara jutaan kerumun.
Kosong pikiran dalam ribuan persoalan.
Termangu dalam lapisan-lapisan penantian.

Ragu

Kenapa Tanya menghantu?
Yakinku terkubur. Khawatir yang getir.
Meruang.meluap.
Penuhi seluruh sisi hati.
Hidup ini sekali.
Indah atau kelam ditentukan ini malam. Aku???

Ibu

Oh ibu…
Penuh kasih…lekat.rapat.hinggap.
Maknaku tiada. Kemana coba…
Aku…menghitungnya dan terus mengingatnya..
Maafkan aku….
Sementara kau…
Nyawamu tiada artinya untukku…
Keringat.darah.malumu semuanya…
Untukku…
Bahkan marahku.murkaku.lalaiku…
Kau bela dengan apapun…untuk citraku.
Dan aku…
Bagaimana??
Aku…apa coba? Gak ada.Tidak Ada. Sedikitpun.
Tersisa. Aku tiada. Sungguh…
Kutuk aku menjadi debu.atau batu…
Itupun tiada basuh sedikit dosaku…
Maafmu…Tuhanku…