Senin, 21 Desember 2009

Terminology


Terminologi
Halliday lebih suka menyebutnya “technical terms,” yang diharfiahkan menjadi istilah teknis. Kata atau istilah yang digunakan untuk mewakili satu konsep makna khusus yang berlaku dalam satu bidang atau disiplin ilmu tertentu. Terminologi disusun untuk memudahkan komunikasi di antara komunitas sebidang atau seprofesi. Sebagai orang sosial, kehadiran terminology terasa mencolok ketika saya bertemu dengan teks-teks eksakta, misalnya bidang kedokteran. Satu kata bidang kedokteran bisa menjadi satu alinea untuk menjelaskan pada orang awam. Sebagai contoh pembedaan makan aborsi dan abortus yang hingga saat ini masih membingungkan dalam pemahaman saya.
Terminologi bagi komunitas pengguna menjadi bahasa biasa karena maknanya sudah merupakan shared convention. Hal ini berlaku untuk semua bidang dan profesi, termasuk filsafat. Istilah “ada” dan “mengada” masih merupkan konsep yang masih belum terlalu bermakna, ketika pertama kali mendengarnya. Pikiran saya hanya berkesimpulan bahwa “mengada” merupakan konsep yang teramat penting dalam dunia filsafat, yang oleh Husserl dikaitkan dengan “metafisika kehadiran.” Lagi, kita bertemu dengan terminology, “metafisika.” Apalagi ini? Bagi orang-orang yang mengakji filsafat, makna dari istilah-istilah itu sudah terasa sebagaimana mereka memahami pembicaraan orang atau membaca tulisan dalam surat kabar. Ups! Juga sangat mungkin bahwa media pun mungkin memiliki konvensi terminology yang sebenarnya satu konsep yang gelap bagi mereka yang tidak biasa membaca koran/majalah. Sebagaimana keluh kesah seorang teman yang merasa kesulitan ketika membaca koran dan majalah yang berbobot. Terminologi hampir selalu memuat abstraksi dan mengandung rangkaian makna dalam kata-kata bahasa biasa. Karakter inilah yang menjadikan terminology lebih sulit dipahami dibandingkan kata-kata biasa.

Analogi


Analogi

Dalam bahasa religius, ada istilah qiyas yang seringkali disamakan dengan terma tersebut. Istilah qiyas, seingat saya, biasanya diterjemahkan oleh para pengkaji teologi islam barat dengan “jurisprudence” (jurisprudensi) yang memiliki nuansa lebih umum dan lebih profan. Karen qiyas terkait dengan hukum syariat yang diputuskan oleh para ahli hadist dan ulama untuk memutuskan hukum atas sesuatu dan mendasarkan keputusannya pada kejadian serupa yang pernah diputuskan oleh Nabi atau para Khalifah. Keserupaan itulah yang menjadi dasar untuk menghasilkan keputusan yang serupa juga. Sementara jurisprudensi biasanya mengacu pada keputusan pengadilan terhadap satu kasus dan keputusan itu kemudian menjadi acuan untuk menetapkan satu status hukum yang serupa.
Kembali ke terma di atas, keserupaan menjadi kata kunci saat kita menjelaskan sesuatu sebagai pembanding bagi ihwal yang tengah menjadi pembicaraan. Tentu saja, pembanding tidak akan pernah menjadi representasi utuh dari yang dibandingkan. Tetapi, analog menjdi alat bantu dalam menjelaskan ihwal tertentu. Sifat keserupaan analog itulah tampaknya yang menjadikan metafora teramat kental dengan warna analog itu. Metafora memiliki fungsi untuk merealitaskan makna hingga menjadi nyata seperti realitas itu sendiri, atau bahkan melebihi realitas itu sendiri. Lagu adalah bentuk metafora dari metafora itu karena melaluinya tercipta hiperalitas dengan lipatan-lipatan analog, yang memanfaatkan penangkapan indera pendengaran, perasaan dan pencerapan otak. Maka linangan air mata tumpah ruah ketika lengkingan suara 7 oktaf Celine Dion menyuarakan metafora “My Heart will Go On,” dan dikuatkan dengan kilatan-kilatan adegan dari Titanic. Atau yang lebih lokal dan lebih membumi di Indonesia, bagaimana Charly ST 12 melarutkan perasaan audiens ketika isakan suaranya melantunkan metafora-metafora kehilangan dan kedalaman cinta melalui lagu “Saat Terakhir.” Begitulah fungsi analog, ia mewakilkan dan sekaligus mengkuatkan satu konsep makna. Ia bisa menyederhanakan dan kadang membawa realitas dalam labirin kerumitan, menjadi amplifikator yang menggemakan makna untuk bisa lebih tercerap dalam otak dan menggoreskan seribu kesan.

Panglima Kata


Panglima, sebuah Kata?

Panglima : Ya hanya Kata
Betulkan bahwa panglima tidak lain adalah sebuah kata. Buktinya kita bisa memahami maknanya sebagai satu kesatuan. Dalam morfologi, panglima adalah kata yang terdiri atas satu morfem, elemen makna terkecil. Akar kata dari “panglima” adalah /panglima/ itu sendiri. Makna dari panglima adalah pimpinan atau ketua atau komandan dalam sebuah peperangan. Kata itu memang sangat kental dengan aroma tribal peperangan. Cerita-cerita kerajaan dalam masa penaklukan seringkali menyebutkan para pimpinan perang yang gagah berani dengan nasibnya yang kadang sangat membanggakan dan di saat lain sangat menyedihkan menemui kematian dengan terajam ribuan pedang. Benarkah kegagahan seperti itu cukup diatribusikan dengan “sebuah kata”—teramat reduktif dan tidak adil untuk kata yang selama ini berasosiasi dengan kepahlawanan sekaligus kekuasaan itu. Maka, perlu ditempuh satu penelusuran lebih jauh.
Satu sudut di pikiran mengkutak-katik kata itu menjadi satu frasa yang terdiri atas dua kata bahasa Jawa pang “cabang pohon” dan lima “jumlahnya lima.” Angka lima adalah jumlah yang memiliki nilai ekstra dalam kultur bangsa ini, yang memiliki Pancasila, dan juga masyarakat muslim yang memiliki lima kewajiban shalat tiap hari. Maka cabang pohon yang jumlahnya lima menjadi sesuatu yang pantas diasosiasikan dengan nilai tertentu, nilai yang lebih hebat dari jumlah-jumlah lain. Sekali lagi soal jumlah dan asosiasi mistis dan mitos itu juga mengingatkan memori kita pada perspektif kejawaan yang memandang angka yang tidak biasanya dicurigai memiliki nilai lebih. Misalnya, kelopak bunga tertentu yang lazimnya berjumlah lima, bila didapati jumlah kurang atau lebih dari itu, maka bunga “aneh” itu akan menjadi jimat. Atau cicak atau tokek dengan ekor bercabang yang sering dianggap memiliki daya magis (Hirata:2008). Ya, sang pengarang cerdas itu dalam seri terakhir dari tetraloginya bercerita tentang seorang dukun yang teramat sakti dengan berbagai jimat koleksinya. Salah satunya adalah tokek dengan ekor bercabang. Tokek yang lazimnya memiliki satu ekor ternyata terkadang menunjukkan morfologi yang anomaly. Dan ranah pikiran masyarakat mistis, keanehan itu dimaknai sebagai satu keajaiban dan berpotensi sebagai kekuatan, maka jadilah fenomena anomaly selalu diubah menjadi produk-produk mistis budaya. Dan cerita tentang kemahiran perang sang panglima tidak pernah kering dari daya mistis dan kepemilikan benda-benda anomaly berkekuatan mistis.
Dalam kehidupan modern sekarang, panglima masih ada. Presiden adalah panglima tertinggi yang memegang otoritas mengenai keadaan Negara dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan upaya pengamanan Negara. Film Hollywood sering menggambarkan bagaimana seorang panglima harus memutuskan nasib suatu komunitas yang tertimpa wabah menular apakah mesti diselamatkan dengan jaminan tidak merembet ke komunitas lain, atau malah dimusnahkan sama sekali. Sebagaimana keputusan dalam menangani pesawat yang dibajak, mengirim rudal dan melumat mereka bersama dengan isi pesawat ataukah ada langkah yang bisa dilakukan tanpa membahayakan kepentingan yang lebih besar. Apakah panglima memang tidak bisa jauh dari urusan darah dan nyawa baik menumpahkan atau mempertahankannya?

Sebaliknya: Kata itu Panglima
Bila demikian mengapa kata? Kata tidak memiliki karakter untuk menjadi senjata yang ampuh untuk membunuh, meskipun adagium klise mengatakan “kata lebih tajam dari pedang.” Tetapi apakah sebuah kata atau selaksa kata yang kita tulis dan kita bentuk menjadi piktograf pedang atau pisau bisa memiliki kemampuan sekedar untuk mengiris sepotong tempe yang hendak dimasak? Lalu, apakah kata itu adalah kata milik panglima, karena kata-kata darinya bisa menentukan nasib ribuan nyawa. Atau bahwa kata memiliki ketajaman yang amat ampuh untuk membunuh segala sesuatu yang sifatnya non-fisik, jasadiah. Dengan sifatnya yang tidak tampak dan merambat melalui gelombang udara, sebuah kata bisa menembus dimensi ruang waktu menancap dalam pemahaman reseptor dan mewujud secara begitu nyata dan menggoreskan selaksa luka dalam nurani sebuah bangsa atau seribu juta dera bagi satu umat beragama.
Sebagaimana yang terjadi atas “klaim budaya” tertentu yang menimbulkan gejolak massa yang sangat bersimpati pada budayanya. Sementara PM.Laksono (2009) menanggapinya dengan enteng, “Jangan cengeng dan tidak kreatiflah…biar saja mereka mengaku-ngaku. Ya kita menciptakan lagi…” Seniman yang besar adalah seniman yang tidak pernah kering dan miskin akan karya, maka ketika ada sebagian karyanya dibajak orang lain, tidak memiliki rasa khawatir apapun, karena dia dapat menciptakan karya baru yang lebih baik dari yang diambil orang tadi.
Dengan keampuhan seperti itu, kata tentu saja dapat juga mempengaruhi sebuah realitas atau bahkan dia dapat menciptakan realitas. Lebih ekstremnya “kata” sebagai representasi dari bahasa merupakan prasyarat terpenting bagi sebuah fenomena untuk bisa hadir dan diakui sebagai realitas oleh masyarakat manusia. Maka si cantik bisu yang diperkosa tidak pernah menjadi realitas, karena ia tidak bisa menghadirkan kejadian yang dialaminya dalam bentuk kata-kata. Begitu juga dengan pembantaian di suatu kota tidak mengundang reaksi apapun karena media menyembunyikannya—tidak menciptakan kehadiran bagi fenomena kekejaman manusiawi itu kepada dunia melalui kata-kata dalam salah satu headlinenya. Fakta ini menunjukkan bahwa kata adalah satu kekuatan yang sangat menentukan banyak hal dalam kehidupan manusia. Kehadirannya sebagai perangkat bagi “semiotic reality” untuk hadir tidak lain adalah sebuah “power.” Kata, dengan demikian, bukan sekedar merepresentasikan realitas, tetapi sebagai kendaraan bagi kehadiran realitas (Hasan:2009).
Kata adalah kehadiran realitas itu sendiri. Kata dengan demikian perangkat untuk “mengada” bagi realitas. Realitas menyangkut semua pengalaman yang dapat dicerap pikiran manusia. Melalui kata realitas itu dikemas, disusun, diorganisasikan, dan dibagikan atau disimpan sendiri dalam memori yang tersembunyi dalam simbol-simbol bahasa (Halliday:2009). Bila demikian, kata, atau lebih tepatnya juga merupakan kendaraan bagi pengetahuan, sebagaimana posisi dilematis yang dirasakan oleh Derrida dalam memandang bahasa sebagai kendaraan penghadiran pemikiran yang tidak pernah sepenuhnya mewakili pemikiran yang ada pada dirinya, “karena bahasa adalah bukan alat yang saya ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin saya gunakan” (Sarup, 2008:49). Di bagian lain Derrida menjelaskan bahwa “orang dapat menggunakan bahasa, termasuk tulisan, sains, dan matematika, yang menjelaskan pemahaman lengkap dan jelas atas dunia” (Agger, 2007:115). Dengan demikian, bahasa tidak lain adalah pengetahuan itu sendiri, karena melaluinyalah pengetahuan tentang dunia bisa “mengada” dalam pemikiran manusia. Bila bahasa dipandang dari sudut ini, sebagai representasi pengetahuan maka akan tampak sekali “kepanglimaan” dari “kata” yang tengah kita bicarakan sekarang. Bila kata adalah satu-satunya wadah yang bisa menampung pengetahuan atau setidaknya kendaraan utama bagi pengetahuan, maka siapa saja yang memiliki atau menguasai kendaraan itu, dia adalah panglima itu sendiri.
Kita terbawa ke “Knowledge and Power,” satu pemikiran dari filusuf kontemporer yang sangat berpengaruh bagi teori-teori sosial, Michele Foucault.. Hidayat (2004:236) menjelaskan pandangan Foucault mengenai kaitan kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan memproduksi kuasa sebagaimana kuasa memproduksi pengetahuan. Kuasa hanya mungkin akan muncul bila ada pengetahuan dan pada saat yang sama tidak akan ada pengetahuan kecuali melalui kuasa. Jadi, ada semacam relasi ganda diantara keduanya: pengetahuan mengandung kuasa seperti kuasa juga mengandung pengetahuan. Penjelasan ini dengan jelas menegaskan dari makna “power” dari bahasa (yang mewujudkan pengetahuan) bukan hanya sebagai daya yang mewujudkan realitas, melainkan daya untuk menguasai secara politik ataupun menguasai dari aspek-aspek kehidupan lain.

Kata yang Menutup
Demikianlah, “bahasa” atau “kata” tidak lain adalah panglima dengan vitalitas genetis yang menampung pengetahuan kemanusiaan. Vitalitas itu dapat dimodifikasi untuk kepentingan kemanusiaan baik secara negatif maupun positif. Tampak sekali dalam masa komunikasi global seperti sekarang “bahasa” dapat merubah wujudnya menjadi “malaikat yang paling taat” pada satu masa; ia menjadi sumber keberkahan bagi manusia. Pada saat yang sama, bahasa memiliki potensi untuk mewujud menjadi “dedengkot iblis yang paling jahat”; bahasa menjadi momok yang mengerikan karena dapat membenamkan nasib seseorang ke dalam lembah kebinasaan yang terdalam. Teringat satu nasihat dari mitra komentator bahwa kita harus “dewasa” dan “bijak” dalam segala hal, termasuk dalam memanfaatkan sang panglima, “kata” (baca:bahasa), agar bahasa betul-betul menjadi figure yang memberikan layanan terbaik bagi kehidupan manusia, sebagaimana maksud dari inspirator dan Maha Guru bagi kebudayaan manusia, sang ilahi. Semoga…

Daftar Pustaka
Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis (Nurhadi-Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme. (Medhy Aginta Hidayat-Penerjemah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hasan, Ruqaiya. 2009. Space & Language. (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Halliday, M.A.K. 2009. Tanya-Jawab Leksiko-Tatabahasa (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Hidayat, Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan Terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Hirata, Andrea. 1999. Maryamah Karpov: Mimpi-Mimpi Lintang. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Laksono, PM. 2009. Fenomenologi dalam Kritik Seni (makalah). Seminar Penelitian Seni Interdisipliner. Yogyakarta: Fak. Bahasa dan Seni, UNY.

Senin, 14 Desember 2009

Pangkal dan Ujung - Part1

Bertemunya Pangkal dan Ujung
Bila hidup atau waktu kita pandang sebagai realitas yang siklusif atau sirkular, maka kita akan segera temukan pangkal dan ujung itu bertemu. Filsafat Timur memandang waktu sebagai sesuatu yang siklusif dan sirkular seperti tampak dari metafora-metafora budaya yang berlaku, misalnya “alon-alon asal kelakon” atau ujaran seperti “masih ada hari esok,” atau olok-olok, “kaya ra ana dina meneh.” Artinya mereka berpandangan bahwa waktu itu berjalan memutar sebagaimana penampakan matahari yang menandai waktu-waktu dalam kehidupan. Maka ujung dan pangkal dalam perspektif filosofis itu, adalah akhir dari siklus yang sekaligus menjadi titik awalnya, yakni saat seseorang bangun di pagi hari sebagai langkah untuk mengawali kegiatan hari itu, sekaligus akhir dari penutup aktivitas di hari sebelumnya.
Tentu, akan sangat berbeda dengan pandangan waktu dan hidup sebagai sesuatu yang linear; dengan keyakinan bahwa tiap detik yang berjalan dalam kehidupan tidak akan pernah sama, sehingga ada semangat untuk mengisi tiap detik itu dengan sesuatu yang berfungsi guna. Dengan demikian filsafat Barat sangat serupa dengan semangat waktu yang menggelegak dari pemikiran Islam dengan “Demi Masanya.” Metafora “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin” adalah perwujudan yang jelas landasan pemikiran yang berkeyakinan bahwa realitas adalah sesuatu yang linear dan senantiasa berubah.

Bahasa Sakit (Part 2)

Bahasa yang tidak dapat mengemban fungsinya dengan baik mungkin itu yang disebut bahasa sakit. Ketika satu teks tidak dapat mengungkapkan maksud yang diinginkan oleh pengguna bahasa, maka bahasa itu bisa dikategorikan dengan bahasa yang tidak sempurna. Menilik dari dekonstruktivisme Derrida, bahasa pada hakikatnya demikian. Dengan mengkritik kemutlakan strukturalisme, ia menegaskan bahwa tidak ada tanda yang sempurna. Karena makna tidak pernah hadir utuh, dan kehadirannya selalu lekat dalam satu konteks, dan setiap konteks tidak pernah dapat mewadahi makna secara lengkap dan utuh. Derrida menyatakan sebagai berikut: “penanda terus berubah menjadi petanda, dan sebaliknya, dan kita tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang dalam dirinya sendiri bukan penanda.” Lanjutnya, ia mengatakan bahwa apa yang diacu oleh penanda tidak lain adalah sesuatu yang tidak ada, dengan demikian makna sendiri dipertanyakan keberadaannya. “makna terus-menerus bergerak di sepanjang matarantai penanda, dan pengguna bahasa tidak pernah memiliki kemampuan untuk memastikan posisinya, karena makna tidak pernah terikat secara konstan dalam satu tanda tertentu. Dari perspektif ini, bahasa, apapun itu, selalu dalam kondisi tidak sempurna, cacat, atau sakit. Namun, Derrida juga mengajukan konsep tanda silang sous ratur, yang bermakna bahwa dalam ketidak-sempurnaan itu bahasa tetap memiliki fungsi dan guna. Ia adalah satu-satunya perangkat yang bisa menghadirkan makna, dan tidak ada media lain yang bisa menjadi kendaraan makna yang sesempurna bahasa.
Maka, bila yang dimaksud bahasa sakit itu adalah bahasa-bahasa atau teks-teks yang berada di antara teks pada umumnya dengan ciri-ciri khusus, yakni teks yang maknanya tidak pasti, misalnya plesetan atau ketaksaan (ambiguity), kita perlu mundur sedikit ke belakang dan mempertanyakan patutkah bahasa itu disebut sebagai bahasa sakit? Mungkin perlu ditambahkan samples lain wujud bahasa yang unik seperti bahasa gaul, bahasa dagadu, bahasa prokem, bahasa walikan, dan lain-lain. Plesetan dengan keunikan dan ciri kelucuannya dikonstruksi dengan tujuan. Ia merupakan bagian dari konvensi sosial dalam komunikasi yang khas. Pengkaburan makna yang diciptakan dalam plesetan dieksplorasi untuk tujuan melucu dan humor atau kadang untuk menyindir. Dengan kata lain, penyimpangan tersebut dilakukan dengan tujuan social yang disengaja, dan semuanya berjalan dalam frame konvensi komunitas penutur. Yang keliru adalah ketika plesetan muncul pada konteks yang tidak semestinya dan menimbulkan friksi rasa yang tidak nyaman bagi para pelibat dalam konteks yang dimaksud. Dalam kasus seperti itu, bukan hanya bahasa plesetan saja yang bisa melakukannya. Bahasa konvensial pun ketika isi informasinya tidak tepat konteks akan menimbulkan permasalahan serupa. Dengan demikian, plesetan pun dipertanyakan sisi sakitnya. Biasa saja kan?
Bahasa taksa? Penempatan dalam konteks akan membuat si taksa menjadi jelas makna. Sesuatu yang taksa seringkali karena dilepaskan dari konteksnya. Kalimat dibiarkan berjalan sendiri dan kita coba atik-atik, maka ketaksaan akan muncul. Memang, ketaksaan itu sengaja dipertunjukkan untuk membuktikan bahwa konstruksi dari elemen-elemen bahasa tertentu memiliki potensi untuk memiliki makna ganda. Tetapi ingat bahwa bahasa dalam kondisi realnya selalu hadir dalam konteks penggunaan. Termasuk sampel-sampel kalimat taksa itu, mereka dihadirkan untuk memberikan pembelajaran pada pengakji bahasa. Dengan kata lain, ketaksaan hadir dalam konteks metabahasa. Bila kita tarik contoh riil dari kegandaan makna yang seringkali menimbulkan polemik adalah pernyataan yang tidak tegas dari SBY. Menurut pendapat pribadi saya, bukan soal bahasanya yang taksa, melainkan persoalan ide yang melatarinya. Ekspresi yang muncul ditimbulkan oleh suasanan hati yang gamang dan tidak tegas, sehingga proposisi yang muncul menimbulkan tafsir yang teramat beragam, dan bahkan saling bertentangan. Bahasa seperti itu dimunculkan juga sebagai bagian strategi yang diambil otoritas untuk mengamankan posisinya. Kembali lagi, taksa akan hilang atau berkurang bila ekspresi taksa ditempatkan dalam konteks penggunaannya.
Begitu juga dengan contoh-contoh bahasa seperti bahasa gaul dan kawan-kawannya yang bermain dengan bentuk. Permainan bentuk ekspresi itu menjadi arena eksploitasi untuk membangun identitas tertentu. Bahasa Dagadu misalnya berkembang sebagai wujud konvensi masyarakat Yogyakarta tertentu untuk membentuk cara komunikasi yang identitif. Lagi-lagi ada konvensi yang mengikat keunikan itu menjadi shared understanding. Artinya bahasa itu hanya akan dimengerti oleh komunitas penutur yang bersangkutan. Dengan demikian, bahasa itu tidak berbeda dengan bahasa pada umumnya. Hanya saja komunitas yang memilikinya lebih kecil dan biasanya tidak jauh berbeda dengan bahasa konvensional yang menjadi induknya. Karena modifikasi-modifikasi bentuk ekspresi itu memiliki bentuk-bentuk dasar dari vokabuler dari bahasa induk terkait. Bahasa tersebut juga memiliki kekhasan yang hanya terbatas pada bentuk kosakata, bukan pada sisi gramatikal. Lagi-lagi, bahasa seperti juga tidak bisa dikategorikan dengan bahasa yang tidak sempurna atau bahasa cacat. Bahasa itu adalah bahasa modifikasi yang tetap dapat berfungsi sebagai perangkat komunikasi bagi masyarakat tuturnya. Lalu, adakah bahasa sakit itu? Sementara ini, tidak ada bahasa apapun yang bisa dikategorikan secara mutlak sebagai bahasa sakit.