Sabtu, 31 Oktober 2009

Alergi melepas luka

Maka sakitku meluka.
meremas organ dalam tubuhku,
benamkanku dalam ketiadaan.
Tiada lagi yang bisa kugapai…
Aku betul-betul kehilangan semuanya.
Dari cinta itu.
Maknanya aku seperti hilang jiwa.
Dan sisanya jadi kehampaan yang sempurna.

Tuhan, benarkan cinta itu ada?
Buktinya luka2 ini selalu hadir.
Dan aku…tidak bisa abai.
tak bisa lalai…
meski aku kadang sesali…
ku syukuri…

toh, aku kembali mendarah, mendera, meluka.
Sempurna dalam benam misteri derita.

Alergi Melepas Kesadaran

Maka sinarku adalah silaumu,
Pantaslah kau menyingkirkannya.
Pandangan menyipit. Kepala menunduk.
Atau kau berpaling dan pergi.
Sebagai jalan lepas dari silau.

Mestinya kukurangkan intensitas pendar cahaya.
Ketimbang buang energi sia-sia.
Terlampau terang justru buramkan citra.
Pendarkan wujud kedlaam tarikan-tarikan
Bayang berkas.

Alergi Menentang Bayang

Diri adalah maujud prismatis.
Dengan relasi sebagai bayangan refleksi
Maka apapun yang terungkap dalam relasi.
Tidak lebih dari wujud prismatis,
Bila memang ada bayang indah tercitra,
Bersyukurlah, maknya diri telah tampil baik di satu sisi.

Prismatis melahirkan keragamana bayang
Dari yang terbaik hingga mendapat kemungkinan
Bayang terburuk.
Maka tidak lain, baying dan prisma adalah
Dialektika yang saling mewujudkan.

Pantaskan bila kita hanya menjunjung
Dan memandang berulang dengan bangga
Pada bayang menawan…
Dan menganggap refleksi yang buram
Sebagai kenyataan yang khianat,
Dampak deviasi tak normal.
Layaknya monyet menendang.
Menghancurkan kaca yang jujur menunjukkan wajah jeleknya?

Alergi melepas siapa

Tidak ada arti dan pengaruhnya kan?
Pengarang menemukan ajalnya,
Saat huruf uang ia tuangkan
telah dilempar ke tengah publiknya.
Seperti laku diri
Yang tak butuh revisi saat proses aksi usia
Membiarkannya menjadi fenomena dengan potensi seribu refleksi…
Atau dilupakan menjadi cercah schemata memori.

Alergi – Keraguan

Kapan coba?
Ribuan ragu runtuhkan diri,
Rasukkan selaksa resah di kalbu.

Alergi Melepas Lemas

Aku sendiri ragu soal semua yang aku lihat.
Atau bagian darinya yang kutatap dengan seksama.
Meresapi makna dan arti di baliknya.
Serta implikasi sebagai refleksinya.
Tindak sebagai reaksli lewat terabaikan
Meski komprehensi sudah lelah kukupas
Dan kucerna.

Berulang kali kuingatkan diri
Atas tindak yang berulang-ulang terencana.
Menjadi niat suci yang terlalu tinggi
Tertancap di horizon angan…
Terlalu utopis untuk mewujudkan.
Menjadi langkah konkret yang sepenggal terjamah.
Tapak demi tapak terjejak.

Helaan nafas panjang di ujung kesadaran
Menjadi kompensasi lazim atas lalainya kewajaran.

Lara Duka_Getar 6,7 Richter

Maka duka adalah duka.
Masihkah kau bertanya?
Duka adalah tangis yang terlunta, sesengguk tanpa suara.
Teriak tanpa menganga.
Terkatup beku, menatap pilu.

Apa? Tak ada sisa kan?
Lantak tertinggal.
Luluh mengganjal hati lebam.
Pijakan tak ada.
Jangkauan tiada.
Melayang dalam hampa duka,
Tenggelam banjir airmata.

Bisakah tunduk doa kami meluruskan.
Pandang yang carut marut goyang.
Tuhanku, Allahku, Rabku…
nyatanya hanya Kau yang kuasa…

Perkenankan aku sekali lagi bersujud dalam duka…
Ampunkan mereka yang Kau ambil hari ini…
Sangat banyak Tuhan…
Tapi, ampuni semua…
Kuatkan hati dan jiwa yang menanggung duka seribu lara…
Jernihkah kalbu untuk menelan segalanya hidayah.
Jangan jadikan duka ini menjadi rabun hati atas nikmat yang tanpa tepi…
Perbaikilah akhlak dan Ibadah kami agar jauh dari murkaMu, dzat yang Maha Kasih.

Pieces of whereby


Peaces on heart.
Pieces of heart. Pieces of Mind.

Where power draws, pulls, and pushes the entity into
Unpredicted, unprecedented corners and directions.
Putting soul on the blank colorless empty.

Lonely in the Crowd

Things should fix, sweats are wet like floods,
Lonely is stab, crucifying all guts,
Roaming sounds are prison of the crowd jailing the fainted heart.
Threatening with haunting shadows of beholding eyes, suspecting mouths.
The cries and shouts of encounters just springs the jealousies.
Changes and moves are just silencing each word to the corner of the wordy world

...

Hilang. Tapi aku yakin ada.
Hanya terasa jauh dan tak tersentuh.
Karena jauhku kan jadi dekatnya.
Gapaiku lelah, puas sentuh peluknya.
Mengembang.tanpa terpegang.
Menjadi mantap dan kemutlakan memilikinya.

Apa makna tiada atau hilang.
Ketika hilang menjadi ada bagi orang lain.
Pergi adalah datang.kecewa adalah senang.
Hilang berarti menemukan.
Kecewa berarti awal untuk gembira.
Layaknya hidup yang menuju susut kematian.

Tiada oposisi yang distink dan diskrit.
Perbedaan hanyalah ujung dan pangkal dari sama.
Ujung dan pangkal juga mewakili realitas yang sama.

Hanya kategorisasi logika bahasa manusia.
Sama seperti besar dan kecil yang teramat relative
tergantung operasi relasi yang diputuskan subyek.Seperti bedug yang disamakan gede dengan sepotong kecil roti.

Akhirnya…

Ya. Seperti si kecil yang menemukan mainan kesayangan.
Yang beberapa hari ia tangisi.
Bila boneka, maka dipeluknya hingga ia pulas tanpa sentuhan ibunya.

Maka alir temukan telaga muara.
Tumpah ruah terbahak sepuasnya.

Mungkin kita perlu ruang kecil.
Sembunyi dari kerumun.
Untuk sebentar berpagut.
Dan lama berpeluk.

Biar airmata tumpah di pundak.
Lepaskan beban hati yang menanggungnya tiada kita mampu.
MAU?

Ragu dalam Harap…

Maka kapan cinta itu bisa kutanyakan.
Membiarkan hati tenang dalam bening telaga.
Menikmati jalinan ombak yang terangkai oleh sepoi.

Biar

Tunjukan saja aku jalan
Atau biarkan kaki melangkah
Tanpa kepala bersandar.
Dan aku manusia merdeka.
Dengan seribu arah.
Daripada terpaku bersama waktu menjadi dungu.
Aku yakin aku mampu.

Takut

Aku takut ini pertanda buruk…
Pena, bolehkah aku bicara?
Ya, dengan jemari.
Karena mulutku masih terkatup.
Hati ini bimbang untuk turut membiru,
Memuram durja, atau
Memutih menunggu murka?
Lubuk luruh, lirih tulus mendoa.

Narsis

Setiap hati dan diri.
Sebenarnya selalu ingin dipuja.
Ia akan mengelak meski aib telah terbukti.
Ia akan menerima ribuan dusta yang memuja.
Terlelap nikmat dalam buaian manis kata.

Muak

Tahukah arti muak?
Adalah Tanya tanpa terjawab.
Menunggu tiada tentu.
Lelah di antara gelak tawa.
Lapar di tengah perut kenyang.
Hati yang tidak tahu.
Otak yang hilang akal.

Tahta

Tahta?
Kau percaya itu.
Kaulah dewi dari tahta tertinggi dalam paseban agung hati.
Dan kehampaan kini membahana.
Meninggalkan singgasana itu tak bertuan.
Layaknya umat tanpa kiblat.

Diam

Dan terpaku terhantam dingin kota.
Kesepian di tengah pikuk.
Sendiri di antara jutaan kerumun.
Kosong pikiran dalam ribuan persoalan.
Termangu dalam lapisan-lapisan penantian.

Ragu

Kenapa Tanya menghantu?
Yakinku terkubur. Khawatir yang getir.
Meruang.meluap.
Penuhi seluruh sisi hati.
Hidup ini sekali.
Indah atau kelam ditentukan ini malam. Aku???

Ibu

Oh ibu…
Penuh kasih…lekat.rapat.hinggap.
Maknaku tiada. Kemana coba…
Aku…menghitungnya dan terus mengingatnya..
Maafkan aku….
Sementara kau…
Nyawamu tiada artinya untukku…
Keringat.darah.malumu semuanya…
Untukku…
Bahkan marahku.murkaku.lalaiku…
Kau bela dengan apapun…untuk citraku.
Dan aku…
Bagaimana??
Aku…apa coba? Gak ada.Tidak Ada. Sedikitpun.
Tersisa. Aku tiada. Sungguh…
Kutuk aku menjadi debu.atau batu…
Itupun tiada basuh sedikit dosaku…
Maafmu…Tuhanku…