Rabu, 18 November 2009

CDA : Wacana Sentral & Periferi

CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS TERHADAP WACANA POLITIK PLURALIS PRANCIS : MEMPERSOALKAN SENTRAL DAN PERIFERI

Wening Udasmoro
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
weningw@yahoo.com


Abstract
The aim of this paper is to analyse the various discourse of French Ministry of Foreign Affairs augmented on its ideology of promoting pluralism in the country, which is strategically marketed through the Ministry’s magazine entitled Label. The social actors representing the ideology of the Ministry raise arguements advancing pluralism as an ideal part of France foreign policy. The discourses evolving from these actors arguments however, emphasized the dicotomic perspective of French centrality towards the others (the Southern countries) as pheriphery. The perspective of pluralism politics and the relationship between central and periphery are the focus of this article. In order to understand the underlying meaning of the arguments, Critical Discourse Analysis is used to illuminate the discourses of these actors. The analysis revealed that the ideal of pluralism although viewed as a good way in trying to position other countries as in oneness as a coherent group is in fact contradictory because it creates a gap or distinction between France considered as central and other countries as in the periphery.

Keywords: discourse, central, periphery, pluralism.


Pendahuluan
Pluralisme adalah sebuah wacana yang secara historis sudah terjadi sedemikian lama dalam masyarakat Prancis. Negara ini menjadi salah satu negara tujuan imigrasi sejak sebelum paska kolonialisme (Perang Dunia Kedua). Sebagai contoh, Presiden Prancis saat ini, Nicolas Sarkozy, adalah generasi ketiga dari seorang imigran Polandia. Setelah akhir kolonialisme, berbondong-bondong imigran dari Aljazair, Maroko, Senegal dan dari negara-negara francophone bekas jajahan Prancis (Larousse, 1989) masuk ke negeri ini dengan berbagai motif.
Gelombang imigrasi ini sebetulnya merupakan bentuk gelombang balik yang secara rasional dapat dipahami sebagai hal yang wajar apabila dilihat dari aspek trans-nasionalitas. Pada masa-masa kolonial, negara-negara yang terletak di benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika adalah eldorado (tambang emas secara riil maupun konotatif) bagi orang-orang Eropa. Dalam Voyage de Paris à Java, Balzac dapat diberi interpretasi bahwa pengarang ini menjelaskan bahwa negara-negara tersebut merupakan tempat tujuan, terutama bagi orang-orang Eropa yang tersingkir (Udasmoro, 2007). Mereka yang pensiun, artis-artis yang tidak dihargai di Eropa, menemukan surga di negara-negara ini (Balzac, 1995).
Setelah kolonialisme dan dengan perpindahan situs eldorado dari negara-negara Selatan ke Utara, gelombang migrasi berpindah ke wilayah-wilayah Eropa. Benua ini menjadi tempat pencarian eldorado bagi mereka yang tidak mendapatkan kepuasan di wilayah mereka atau mengalami kemiskinan serta keterusiran akibat persoalan politik. Eropa menjadi surga baru bagi yang memiliki kesempatan untuk berimigrasi ke sana.
Pada masa kolonial, ada usaha-usaha penolakan dari komunitas lokal terhadap kedatangan para imigran dari Eropa karena persoalan eksploitasi sumber daya alam, kekerasan fisik dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. Persoalan nasionalisme menjadi gerakan yang mewabah di berbagai belahan dunia yang disebutkan oleh Ben Anderson sebagai immagined community (1983). Seakan-akan secara serentak, negara-negara tersebut memproklamirkan kemerdekaan. Paska kolonialisme, imigrasi orang-orang dari benua lain ke Eropa juga menimbulkan berbagai macam argumen antara yang pro dan kontra. Perdebatan-perdebatan bersifat diskriminatif dan rasis menjadi satu wacana besar invasi kolonial Pasca Perang Dunia Kedua. Wacana-wacana rasis ini menjadi satu aspek yang banyak diteliti oleh ahli-ahli wacana seperti Van Dijk (1988) atau Fairclough (1992; 1995a; 1995b)
Dalam konteks sosial, kultural dan politik Prancis, discourse rasisme masih sering muncul dalam wacana-wacana aktual. Salah satu Partai Politik, yakni National Front yang merupakan partai yang radikal dalam persoalan penerimaan terhadap orang asing masih eksis dan bahkan memenangkan salah satu tahap pemilihan pada Pemilu Presiden Prancis pada tahun 2004. Partai ini seringkali dikategorisasikan berhaluan rasis karena memiliki potensi rejeksi terhadap keberadaan orang-orang asing di Prancis.
Seperti telah dijelaskan di atas, gelombang besar imigrasi orang-orang benua lain ke Eropa menjadi permasalahan tersendiri di Prancis. Orang-orang Afrika serta orang–orang Magreb (Aljazair atau Maroko) yang rata-rata beragama Islam dianggap merupakan ancaman bagi keberadaan Eropa yang ingin dikonstruksi sebagai Eropa yang murni (Putih, Kristen dan maju). Sebagai akibatnya, keberadaan imigran yang tidak memiliki kategori tersebut (Kulit berwarna atau hitam, Muslim dan miskin) menjadi eksklusif (out group) yang kemudian dianggap sebagai beban secara ekonomi, mencemari secara biologis (faktor penolakan terhadap percampuran darah biologis) (Yuval-Davis, 2003), menjadi ancaman secara kultural (tradisi Kristen) dan berbahaya di masa datang dari sisi politik. Pandangan ini berpengaruh terhadap hubungan Prancis dengan negara asal orang-orang tersebut yang dalam konteks Prancis sebagian besar berada di wilayah Francophone.
Wacana ini berkembang dan menjadi kontroversi di antara orang-orang Prancis sendiri yang kemudian memecah mereka ke dalam kotak-kotak ideologi yang berbeda. Polemik yang panjang ini juga membawa dampak secara psikologis maupun kultural dan sosial bagi para imigran maupun keturunannya. Peristiwa pembakaran besar-besaran pada tahun 2007 ketika saat itu terjadi amuk massa besar-besaran di Prancis yang disinyalir dimotori para imigran dan keturunannya merupakan klimaks tuntutan anti rasisme terhadap mereka.
Keberatan terhadap imigran Muslim, misalnya, setelah tragedi World Trade Center pada tanggal 11 September 2001, memunculkan stigma-stigma baru terhadap imigran dari wilayan Magreb dan wilayah-wilayah Arab lainnya dan bahkan label-label teroris bagi negara yang kebanyakan adalah Islam atau berpenduduk mayoritas Islam. Travel warning ke Indonesia oleh beberapa negara Barat karena dinilai berada dalam kategori ini adalah contohnya. Peristiwa pembakaran mobil di atas pun pun merupakan signal yang menunjukkan masih adanya tensi antara in group yang terinklusi serta berfungsi sebagai sentral, yakni warga Prancis (asli) dan out group yang tereksklusi atau sebagai periferi yakni para imigran. Selain itu, inklusivitas dan eksklusivitas serta sentral dan periferi itu pun berlaku juga bagi konteks yang lebih luas, yakni Prancis dan orang-orang atau negara-negara lain sumber imigrasi tersebut, terutama Afrika dan Magreb yang merupakan asal imigrasi terbesar Prancis. Dampak psikologis yang besar terhadap negera-negara tersebutlah yang kemudian ingin dikoreksi oleh Prancis dengan kebijakan-kebijakan politiknya.
Berbagai usaha dilakukan untuk memperkenalkan image baru tersebut antara lain dengan memberikan perhatian pada masalah integrasi antara orang Prancis yang dianggap asli dan para pendatang sudah banyak dilakukan, antara lain oleh Kementrian Luar Negri Prancis. Usah lain adalah dengan memperkenalkan visi dan misi baru pluralisme kepada negara-negara lain terutama negara francophone. Salah satu bentuk riil yang dilakukan adalah dengan menerbitkan secara berkala sebuah majalah, berjudul Label yang dapat diperoleh dengan tanpa biaya. Majalah ini diproduksi dalam bahasa Prancis, Inggris, Cina, Portugis, Jepang, Rusia dan juga Arab yang dicetak ratusan ribu eksemplar dan didistribusikan di dalam maupun di luar negri Prancis. Media cetak dalam hal ini digunakan untuk menjelaskan aspek-aspek ideologis berupa pluralisme dan multikulturalisme serta kesadaran bahwa keberadaan para imigran serta bangsa-bangsa lain terutama francophone adalah realitas dalam kehidupan dan sejarah bangsa Prancis.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara historis dan dalam realita sosial aspek-aspek rasisme dan diskriminasi masih ada sebagai bentuk perpetuasi dan reproduksi terhadap nilai-nilai lama yang ada dalam konteks masyarakat Prancis. Namun, sejalan dengan kesadaran akan nilai-nilai plural dan multikultural yang tidak dapat dihindarkan yang menjadi persoalan, seberapa jauh discourse yang merupakan ideal untuk menjadi Prancis yang plural itu diekspresikan dalam majalah tersebut. Bagaimana persoalan sentral dan periferi diposisikan dalam ekspresi tersebut. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi discourse pluralis yang ditonjolkan oleh majalah Label yang notabene diterbitkan oleh Kementrian Luar Negri Prancis dengan memfokuskan pada pemosisian sentral dan periferi dalam hubungannya dengan the others terutama Negara lain dalam hubungannya dengan Prancis.

Critical Discourse Analysis, Power dan Ideologi
Penelitian ini menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA) sebagai usaha untuk mengeksplorasi lebih jauh discourse pluralis tersebut. Critical Discourse Analysis (CDA) adalah sebuah bentuk penelitian terhadap discourse (wacana) yang mempelajari cara masyarakat menggunakan kekuasaan, dominasi serta ketidakadilan yang direproduksi dan langgeng dalam masyarakat itu karena adanya teks dan pembicaraan (talk) dalam konteks sosial dan politik (Van Dijk, 1988). Dalam kelanjutan pemikiran tersebut, image, gambar, gerak tubuh juga menjadi perhatian dalam discourse analysis. Beberapa pemikiran dari Critical Discourse Analysis ini sudah ada sejak masa Frankfurt School sebelum Perang Dunia Kedua. Fokusnya adalah pada bahasa dan discourse yang sering dirujuk sebagai Critical Linguistics yang berkembang di Inggris dan Australia pada akhir 1970-an. CDA juga merupakan counterpart perkembangan kritik dalam bidang sosiolinguistik, psikologi dan ilmu sosial pada awal 1970-an. Dalam disiplin-disiplin ini, CDA merupakan reaksi terhadap paradigma dominan formal yang kadang bersifat asosial dan tidak critical terhadap bahasa pada tahun 1960-an dan 1970-an.
CDA bukanlah sebuah mazhab atau spesialisasi tetapi bertujuan untuk menawarkan mode atau perspektif baru dalam penteorisasian, analisis dan aplikasi di berbagai bidang keilmuan. Ada perspektif kritis di berbagai disiplin tersebut dalam bentuk analisis percakapan, naratif, retorik, stilistik, sosiolinguistik, etnografi, analisis media dan sebagainya. Yang krusial dari CDA adalah kesadaran eksplisit akan perannya dalam masyarakat. CDA merupakan kritik terhadap value free science (Van Dijk, 1988) yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral dan objektif. Para ahli wacana meyakini bahwa ilmu pengetahuan secara inheren merupakan bagian dan dipengaruhi oleh struktur sosial dan diproduksi dalam interaksi sosial (Fairclough, 1995a; Scott, 1988).
CDA melihat bahasa (tulisan, percakapan, bahasa tubuh) sebagai social practice yang kemudian disebutkan dengan istilah wacana. Joan Scott (1988) secara lebih luas mendefnisikan wacana atau discourse sebagai sesuatu yang bukan hanya sebatas bahasa (language) atau teks semata tetapi struktur spesifik dari pernyataan-pernyataan, istilah-istilah, kategori-kategori dan kepercayaan-kepercayaan yang dikonstruksi secara historis, sosial dan institusional. Dengan mendeskripsikan wacana sebagai praktik sosial, ada implikasi-implikasi yang muncul, yakni dialektika hubungan antara kejadian diskursif tertentu dengan situasi serta institusi dan struktur sosial yang melingkupinya.
Van Dijk (1988) berpendapat bahwa paling tidak ada tiga unsur yang difokuskan dalam penelitian dengan model CDA. Pertama adalah melihat struktur argumen dari sebuah deskripsi. Sebagai contoh, adalah melihat argumen penulis atau wartawan terhadap kasus tertentu. Penulis, pengarang, wartawan, editor koran ketika menulis sebuah tulisan tidak terlepas dari argumen yang mereka bangun berdasar pengetahuan serta ideologi-ideologi yang mereka miliki. Kedua, melihat penjelasan-penjelasan (asumsi-asumsi), norma-norma dan nilai-nilai yang dipresentasikan, misalnya setiap surat kabar dalam kasus yang sama dapat berbicara secara berbeda tergantung ideologi yang diikuti. Ketiga adalah melihat style dan gaya retoriknya, misanya penggunaan gaya bahasa, pemilihan nama atau lexical choice-nya.
Secara operasional, CDA melihat fenomena-fenomena ketimpangan, ketidakseimbangan, ketidakadilan ataupun keberpihakan dalam satu fenomena yang ditampilkan. Topik-topik yang seringkali diangkat adalah marginalitas terhadap kelompok minoritas, persoalan seksisme, rasisme, diskriminasi, kemiskinan dan aspek-aspek ketimpangan kelas maupun gender. Bentuk penelitian analitis terhadap wacana ini kemudian mengkaji kasus-kasus dominasi, eksploitasi, ketidakadilan yang terlihat dari text (tulis) dan talk (ujaran/lisan) dalam konteks sosial dan politik. Segala bentuk deskripsi dan penjelasan diposisikan pada permasalahan sosial dan politik.
Dengan demikian, pendekatan ini berargumen bahwa bahasa bukanlah sekedar produk netral yang hanya dilihat secara struktural unsur-unsur di dalamnya. Dalam bahasa, ada nilai-nilai kekuasaan serta hubungan kekuasaan yang bersifat ideologis dan historis. Pemroduksian bahasa pun bersifat kultural. Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal dan komunikasi dianggap hanya merupakan level mikro. Sementara itu, power, dominasi, ketidakadilan dalam realita sosial merupakan level makro dari analisis. CDA berfungsi memediasi antara teks dan masyarakat. Analisis diskursif bersifat interpretatif dan explanatory dengan melihat sumber-sumber fokus pada aspek-aspek power, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras, diskriminasi, kepentingan, reproduksi, sosial struktur atau aturan sosial. Fungsi CDA yang mengubungkan level mikro dan makro tersebut juga memosisikannya sebagai pendekatan yang multisiplin. Peneliti dituntut untuk memahami persoalan-persoalan sosial, kultural dan politik agar hubungan antara yang makro dan yang mikro tersebut dapat dipahami.
Penelitian ini merupakan analisis terhadap salah satu edisi majalah Label yang terbit pada Trimester 2006 Nomor 64 ketika majalah tersebut membahas secara khusus mengenai persoalan pluralisme. Yang menjadi data pada penelitian ini pertama adalah argumen-argumen aktor sosial dan politik yang diwawancarai pada edisi tersebut mengenai pluralisme dan posisi Prancis dalam hubungannya dengan Negara-negara lain, terutama negara francophone.
Penelitian ini adalah penelitian CDA dengan model kualitatif dengan menggunakan unit analisis berupa paragraf (Fairclough, 1995a) yang berasal dari argumen tokoh atau posisi majalah di atas. Namun, dari unit analisis paragraf tersebut, kalimat maupun kata merupakan bagian yang dianalisis. Aspek-aspek yang menjadi unit analisis itu dipilih dalam hubungannya dengan komentar, pemberitaan atau pendapat mengenai pluralisme di Prancis. Unit-unit analisis tersebut dianalisis berdasarkan pemosisian sentral dan periferi (Said, 1978) terhadap Prancis dan Negara lain atau terhadap orang asing atau imigran di Prancis. Persoalan sentral dan periferi ini diangkat sebagai sebuah studi paska kolonalisme oleh Edward Said pada tahun 1978 untuk pertama kalinya dalam bukunya Orientalism. Said berargumen bahwa masih ada pemosisian sentral dan periferi dalam konteks Negara penjajah dan terjajah karena yang terjajah memang secara historis, sosial dan kultural adalah bentukan sentralitas Eropa tersebut.
Aspek yang diberi perhatian pada tulisan ini pertama adalah argumen dasar tentang we and them (kami dan mereka) yang muncul dalam unit-unit analisis tersebut. Kedua adalah pemilihan kata-kata yang dijadikan dasar argumentasi dari penulis atau narasumber. Pemilihan kata menjadi aspek sangat penting dalam CDA karena kata yang dipilih sudah memiliki makna sesuai dengan ideologi dan power pengguna kata tersebut.

Idealisme, Ide Sentral dan Periferi
Sebagai sebuah majalah pemerintah, Label diasumsikan mewakili ideologi pemerintah yang sedang berkuasa, dalam konteks ini adalah pemerintahan Jacques Chirac. Kenyatan bahwa majalah ini dikeluarkan oleh Kementrian Luar Negri dengan cetakan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Arab, Portugis, Cina dan Jepang serta Rusia mengimplikasikan pembaca majalah tersebut. Distribusi secara internasional ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Indonesia serta ke seluruh Negara francophone di satu sisi merupakan usaha menjelaskan posisi Prancis dalam hal pluralisme tetapi di sisi lain merupakan suatu strategi membentuk opini publik bahwa Prancis memiliki perhatian terhadap persoalan pluralisme, di dalam negri maupun di luar negri.
Namun, usaha-usaha tersebut apabila dilihat dari discourse-discourse di dalam majalah Label masih menunjukkan perbedaan argumen dari tokoh atau posisi majalah tersebut dalam hal sentralitas dan periferi dalam hubungannya dengan yang lain “the others” yang dalam hal ini adalah Afrika dan Magreb. Salah satu program yang dikemukakan dalam usaha membentuk ide pluralisme di Prancis itu adalah CultureFrance. Di salah satu wawancara dengan Presiden CultureFrance, Jacques Blot, dituliskan cuplikan wawancara ketika wartawan menanyakan tentang yang akan dilakukan CutureFrance dalam menanggapi inisiatif kementrian Luar Negri Prancis untuk menjadi penjaga keberagaman budaya internasional.

CultureFrance a pour vocation de prendre les initiatives de ce département à son compte et de leur donner une plus grande ampleur. La France ne peut pas avoir été la championne à l’Unesco de la diversité culturelle, avoir joué un rôle moteur pour la signature de cette convention et ne pas faire entrer dans les faits ce qu’elle a voulu mettre dans les textes. CultureFrance contribuera à la sauvegarde de la diversité culturelle, d’une part, en apportant son expertise aux pays qui ont moins de moyens que nous pour faire connaître leur patrimoine culturel et, d’autre part, en les aidant à créer chez eux des conditions propices à la création culturelle.

Di Departemen ini (Luar Negri) CultureFrance mengambil inisiatif dengan memberikan kelonggaran yang lebih besar. Prancis tidak dapat menjadi juara di Unesco dalam hal keberagaman budaya, menjadi motor penandatanganan konvensi dan tidak dapat menjadi yang memasukkan ini dalam peraturan. CultureFrance berkontribusi dalam menjaga keberagaman budaya, di satu sisi dengan mengirimkan ahli-ahlinya ke negara-negara yang tidak memiliki biaya untuk memahami warisan budaya mereka dan di sisi lain dengan cara membantu mereka menciptakan kondisi yang bagus dalam penciptaan budaya.

Secara umum terlihat tidak ada yang perlu mendapatkan perhatian dalam paragraf tersebut. Namun, apabila dilihat dari aspek argumen tentang kami dan mereka (Negara lain) terlihat adanya ketimpangan tersebut. Dalam konteks ini, ada tiga subjek yang muncul. Pertama adalah Prancis (direpresentasi oleh CultureFrance dan Jacques Blot sebagai narasumber). Kedua adalah Unesco yang merepresentasi lingkup internasional secara luas sebagai salah satu badan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketiga adalah Negara-negara yang dikategorisasiskan sebagai tidak atau kurang memiliki biaya serta membutuhkan bantuan.
Dalam hubungan dengan Unseco, we (kami atau kita) Prancis bersifat subordinat sehingga Prancis merasa tidak berhak menyatakan bahwa mereka adaah motor atau juara dalam persoalan keberagaman budaya. Namun, dalam hubungan dengan Negara-negara lain, yang dalam hal ini adalah Negara yang kurang mampu, maka mereka bertindang sebagai yang superior. Prancis dalam hal ini menjadi yang mengirimkan tenaga ahli dan yang memberikan bantuan atau menjadi donor dalam istilah diplomatiknya. Superioritas di sini memunculkan asumsi bahwa untuk persoalan keberagaman budaya, Prancis perlu memikirkan untu mendidik dan men-support Negara-negara lain.
Dalam konteks tersebut, kalimat dengan mengirimkan ahli-ahlinya ke negara-negara yang tidak memiliki biaya untuk memahami warisan budaya mereka menimbulkan asumsi bahwa Negara-negara lain tersebut tidak memiliki tenaga ahli untuk mereservasi warisan budayanya. Kalimat terakhir dengan cara membantu mereka menciptakan kondisi yang bagus dalam penciptaan budaya memiliki konotasi yang sama. Negara-negara lain yang tidak memiliki dana tersebut perlu dibantu karena tidak memiliki aspek-aspek untuk penciptaan budaya mereka.
Dalam keberagaman budaya ini, Prancis memosisikan diri sebagai sentral dengan ilmu pengetahuan (tenaga ahli) dan dana yang dimiliki. Sementara itu, Negara-negara lain, yang dalam hal ini adalah Negara yang dianggap tidak mampu adalah sebagai periferi sehingga untuk masalah konservasi warisan budaya pun tergantung pada bantuan Prancis.
Contoh lain adalah bagian editorial yang dalam hal ini ditulis oleh Phillippe Douste-Blazy, Mentri Luar Negri Prancis waktu itu. Editorial, menurut Van Dijk (1988), merupakan cermin posisi pemilik atau manager dari majalah. Dengan demikian, bagian editorial di sini merupakan cermin ide atau pikiran pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Mentri Luar Negri Prancis. Judul dalam editorial tersebut adalah: La Fracture Sanitaire entre le Nord et le Sud est l’une des menaces les plus preoccupants yang terjemahannya adalah Keretakan (Ketimpangan/Perbedaan) Kesehatan antara Utara dan Selatan adalah ancaman paling mengkhawatirkan. Dari judul tersebut, pemilihan kata fracture menjelaskan dengan signifikan adanya keadaan tidak seimbang yang amat drastis. Kata perbedaan atau jarak mungkin bisa dipakai tetapi pemakaian kata fracture di sini menunjukkan adanya masalah yang sangat parah.
Kalimat tersebut di atas yang menjadi judul artikel dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikut ini :

Au-delà de la question éthique ou du devoir moral, les dirigeants prennent maintenant conscience de l’impact éminement politique des questions de pauvreté et de santé publique. Un Etat qui n’a ni système de santé, ni politique de prévention, ni accès aux médicaments est un pays fragilisé et destabilisé.

Mengenai persoalan etis atau tanggung jawab moral, para pemimpin sadar akan dampak politik permasalahan kemiskinan dan kesehatan publik. Negara yang tidak memiliki sistem kesehatan, politik prevensi ataupun akses pada obat-obatan adalah negara yang lemah dan tidak stabil

Kalimat pertama mengenai persoalan etis atau tanggung jawab moral, para pemimpin sadar akan dampak politik permasalahan kemiskinan dan kesehatan publik memberikan gambaran tentang fracture antara negara Utara dan Selatan. Pada kalimat di bawahnya yang mengatakan bahwa sebuah negara yang tidak memiliki sistem kesehatan, politik prevensi ataupun akses terhadap obat-obatan adalah negara yang lemah dan tidak stabil menjelaskan dikotomi Utara-Selatan tersebut. Dengan demikian, pembicara sebelumnya berbicara tentang Utara dan Selatan dalam hubungannya dengan masalah kesehatan tetapi kemudian dihubungkan dengan masalah kemiskinan yang memperlihatkan dengan jelas pemosisian bahwa yang memiliki tanggung jawab moral tentu saja adalah yang kaya (Utara) dan yang perlu mendapat perhatian adalah yang miskin (Selatan).
Kembali dari paragraf di atas terlihat bahwa ada bentuk-bentuk kepercayaan diri dari Prancis yang merasa memiliki tanggung jawab etik dan moral dalam permasalahan kemiskinan dan kesehatan publik. Yang menjadi persoalan, kembali persoalan we dan them ini secara tidak langsung muncul di sini. Ketika Mentri berbicara tentang sistem, maka dia berbicara tentang sistem sebuah negara yang dia anggap miskin, tidak memiliki akses untuk kesehatan dan dalam kondisi yang tidak stabil. Mentri ini berbicara dengan standar Prancis yang dengan demikian menganggap bahwa sistem negara lain tersebut tidak sepadan dengan Prancis sehingga negara ini seperti memiliki tanggung jawab etik dan moral untuk memikirkan hal tersebut.
Sebuah ide lain dikemukakan oleh Direktur CultureFrance waktu itu Olivier Poivre d’Arvor. Ia mengatakan :

Je suis convaincu que la France a besoin de l’Afrique, des cultures africaines, pour féconder ses pensées, son imaginaire, comme cela s’est déjà passé au début du XX siècle avec le mouvement cubiste. C’est pourquoi, au cours des dernières années, l’Afaa a pris une part grandissante dans l’organisation des manifestations culturelles africaines. Nous avons soutenu la récente exposition « Africa Remix » (2005) à Beaubourg ….

Saya yakin bahwa Prancis membutuhkan Afrika, budaya Afrika untuk menyuburkan pikiran dan imajinasinya, seperti yang telah terjadi pada awal abad ke-20 dengan gerakan cubiste. Itulah mengapa, tahun-tahun belakangan ini, l’Afaa mengambil peran yang besar dalam organisasi untuk manifestasi budaya Afrika. Kami mendukung pameran saat ini « Africa Remix » (2005) di Beaubourg …

Di antara usaha dan perjuangan untuk memberikan tempat bagi Afrika, tampak masih adanya sentralitas dan periferi terhadap Afrika. Sebagai contoh, kalimat Saya yakin bahwa Prancis membutuhkan Afrika, meskipun ada kata keyakinan, sebetulnya justru memperlihatkan adanya keraguan sehingga pembicara merasa perlu menekankan kata keyakinan tersebut. Perubahan dari kata Prancis menjadi nous atau kami menunjukkan claim yang mengindikasikan peran we dalam hubungannya dengan them yakni Afrika. Ada keinginan untuk meng-in group kan Afrika tetapi peng-in-group-an tersebut masih sebatas usaha dan cita-cita. Kalimat, itulah mengapa l’Afaa mengambil tempat dalam organisasi untuk manifestasi budaya Afrika merupakan usaha menunjukkan Prancis yang dalam hal ini Afaa sebagai subjek.

Penutup
Ada perbenturan-perbenturan dan kontradiksi-kontradiksi yang muncul dari discourse pluralis serta menonjolnya pemosisian sentral dan periferi antara Prancis dalam hubungannya dengan Negara-negara lain dalam majalah Label tersebut. Perbenturan terjadi karena di satu sisi ada persoalan ideal yang ingin dituju dan di sisi lain ada persoalan realita bahwa ada pemosisian yang belum seimbang secara psikologis antara We, yakni Prancis dan Them, yakni negara lain. Persoalannya bukan karena realitas bahwa mereka berbeda tetapi karena belum adanya mindset yang mendukung, yakni ide bahwa keberbedaan adalah hal tidak luar biasa. Pengeksplisitan keberbedaan ini sebenarnya bertentangan dengan konsep pluralisme yang ingin dicapai karena justru menimbulkan kontradiksi, yakni menunjukkan pluralisme tetapi dalam kategori-kategori yang berbeda secara tidak seimbang, yakni adanya sentral dan periferi yang masih kuat.
Pluralisme yang ingin dikembangkan merupakan usaha merespon kontekstualitas dengan dasar-dasar asumsi bahwa menjadi plural adalah sebuah realita. Namun, pluralisme tersebut masih kuat dalam tataran discourse karena peng-in group-an terhadap yang lain (negara-negara lain) justru menimbulkan adanya gap antara yang we, yakni prancis, dan them, yakni bangsa-bangsa francophone lain. Keinginan untuk merangkul tersebut berimplikasi pada pemosisian yang bersifat dominatif dan subordinatif. Selain itu, aspek-aspek pluralisme menjadi bentuk ideal yang ingin dicapai tetapi gap-gap dikotomis we dan them serta sentral dan periferi yang masih jelas ini sebenarnya berjalan kontradiktif dan tidak paralel maupun terintegrasi dengan ide pluralisme itu sendiri.


Daftar Pustaka

Anderson, Benedict, 1983. Imagined Communities. London : Verso
Balzac, H. 1995. Voyage de Paris à Java. Paris : Les Editions du Paçifiques.
Larousse, Petit. 1989. Petit Larousse illustré. Paris : Librairie Larousse.
Faiclough, Norman. 1992. Language and Power. London & New York : Longman.
Fairclough, Norman. 1995a. Critical Discourse Analysis : the Critical Study of Language. London & New York : Longman.
Faiclough, Norman. 1995b. Media Discourse. London : Edward Arnold.
Scott, Joan Wallach. (1988). “Deconstructing Equality-Versus-Difference: Or, the Uses of Poststructuralist Theory for Feminism”, in Feminit Studies 14, No 1 (Spring), pp. 33-51.
Said, Edward. 1983. Orientalism. New York : Random House
Udasmoro, W. 2007. ‘Javanese Women from Balzac’s Perspektif in Voyage de Paris à Java : Imaginary Domination and Subordination’ (in Indonesian), in Semiotika Vol 8 (1) Januari-Juni, pp. 1-10.
Van Dijk, Teun. 1988. News as Discourse, Hillsdale: NJ Erlbaum
Yuval-Davis, Nira. (2003), Gender & Nation, London: Sage Publications.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar