Senin, 14 Desember 2009

Bahasa Sakit (Part 2)

Bahasa yang tidak dapat mengemban fungsinya dengan baik mungkin itu yang disebut bahasa sakit. Ketika satu teks tidak dapat mengungkapkan maksud yang diinginkan oleh pengguna bahasa, maka bahasa itu bisa dikategorikan dengan bahasa yang tidak sempurna. Menilik dari dekonstruktivisme Derrida, bahasa pada hakikatnya demikian. Dengan mengkritik kemutlakan strukturalisme, ia menegaskan bahwa tidak ada tanda yang sempurna. Karena makna tidak pernah hadir utuh, dan kehadirannya selalu lekat dalam satu konteks, dan setiap konteks tidak pernah dapat mewadahi makna secara lengkap dan utuh. Derrida menyatakan sebagai berikut: “penanda terus berubah menjadi petanda, dan sebaliknya, dan kita tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang dalam dirinya sendiri bukan penanda.” Lanjutnya, ia mengatakan bahwa apa yang diacu oleh penanda tidak lain adalah sesuatu yang tidak ada, dengan demikian makna sendiri dipertanyakan keberadaannya. “makna terus-menerus bergerak di sepanjang matarantai penanda, dan pengguna bahasa tidak pernah memiliki kemampuan untuk memastikan posisinya, karena makna tidak pernah terikat secara konstan dalam satu tanda tertentu. Dari perspektif ini, bahasa, apapun itu, selalu dalam kondisi tidak sempurna, cacat, atau sakit. Namun, Derrida juga mengajukan konsep tanda silang sous ratur, yang bermakna bahwa dalam ketidak-sempurnaan itu bahasa tetap memiliki fungsi dan guna. Ia adalah satu-satunya perangkat yang bisa menghadirkan makna, dan tidak ada media lain yang bisa menjadi kendaraan makna yang sesempurna bahasa.
Maka, bila yang dimaksud bahasa sakit itu adalah bahasa-bahasa atau teks-teks yang berada di antara teks pada umumnya dengan ciri-ciri khusus, yakni teks yang maknanya tidak pasti, misalnya plesetan atau ketaksaan (ambiguity), kita perlu mundur sedikit ke belakang dan mempertanyakan patutkah bahasa itu disebut sebagai bahasa sakit? Mungkin perlu ditambahkan samples lain wujud bahasa yang unik seperti bahasa gaul, bahasa dagadu, bahasa prokem, bahasa walikan, dan lain-lain. Plesetan dengan keunikan dan ciri kelucuannya dikonstruksi dengan tujuan. Ia merupakan bagian dari konvensi sosial dalam komunikasi yang khas. Pengkaburan makna yang diciptakan dalam plesetan dieksplorasi untuk tujuan melucu dan humor atau kadang untuk menyindir. Dengan kata lain, penyimpangan tersebut dilakukan dengan tujuan social yang disengaja, dan semuanya berjalan dalam frame konvensi komunitas penutur. Yang keliru adalah ketika plesetan muncul pada konteks yang tidak semestinya dan menimbulkan friksi rasa yang tidak nyaman bagi para pelibat dalam konteks yang dimaksud. Dalam kasus seperti itu, bukan hanya bahasa plesetan saja yang bisa melakukannya. Bahasa konvensial pun ketika isi informasinya tidak tepat konteks akan menimbulkan permasalahan serupa. Dengan demikian, plesetan pun dipertanyakan sisi sakitnya. Biasa saja kan?
Bahasa taksa? Penempatan dalam konteks akan membuat si taksa menjadi jelas makna. Sesuatu yang taksa seringkali karena dilepaskan dari konteksnya. Kalimat dibiarkan berjalan sendiri dan kita coba atik-atik, maka ketaksaan akan muncul. Memang, ketaksaan itu sengaja dipertunjukkan untuk membuktikan bahwa konstruksi dari elemen-elemen bahasa tertentu memiliki potensi untuk memiliki makna ganda. Tetapi ingat bahwa bahasa dalam kondisi realnya selalu hadir dalam konteks penggunaan. Termasuk sampel-sampel kalimat taksa itu, mereka dihadirkan untuk memberikan pembelajaran pada pengakji bahasa. Dengan kata lain, ketaksaan hadir dalam konteks metabahasa. Bila kita tarik contoh riil dari kegandaan makna yang seringkali menimbulkan polemik adalah pernyataan yang tidak tegas dari SBY. Menurut pendapat pribadi saya, bukan soal bahasanya yang taksa, melainkan persoalan ide yang melatarinya. Ekspresi yang muncul ditimbulkan oleh suasanan hati yang gamang dan tidak tegas, sehingga proposisi yang muncul menimbulkan tafsir yang teramat beragam, dan bahkan saling bertentangan. Bahasa seperti itu dimunculkan juga sebagai bagian strategi yang diambil otoritas untuk mengamankan posisinya. Kembali lagi, taksa akan hilang atau berkurang bila ekspresi taksa ditempatkan dalam konteks penggunaannya.
Begitu juga dengan contoh-contoh bahasa seperti bahasa gaul dan kawan-kawannya yang bermain dengan bentuk. Permainan bentuk ekspresi itu menjadi arena eksploitasi untuk membangun identitas tertentu. Bahasa Dagadu misalnya berkembang sebagai wujud konvensi masyarakat Yogyakarta tertentu untuk membentuk cara komunikasi yang identitif. Lagi-lagi ada konvensi yang mengikat keunikan itu menjadi shared understanding. Artinya bahasa itu hanya akan dimengerti oleh komunitas penutur yang bersangkutan. Dengan demikian, bahasa itu tidak berbeda dengan bahasa pada umumnya. Hanya saja komunitas yang memilikinya lebih kecil dan biasanya tidak jauh berbeda dengan bahasa konvensional yang menjadi induknya. Karena modifikasi-modifikasi bentuk ekspresi itu memiliki bentuk-bentuk dasar dari vokabuler dari bahasa induk terkait. Bahasa tersebut juga memiliki kekhasan yang hanya terbatas pada bentuk kosakata, bukan pada sisi gramatikal. Lagi-lagi, bahasa seperti juga tidak bisa dikategorikan dengan bahasa yang tidak sempurna atau bahasa cacat. Bahasa itu adalah bahasa modifikasi yang tetap dapat berfungsi sebagai perangkat komunikasi bagi masyarakat tuturnya. Lalu, adakah bahasa sakit itu? Sementara ini, tidak ada bahasa apapun yang bisa dikategorikan secara mutlak sebagai bahasa sakit.

1 komentar:

  1. Jika aku masih menemukan ekstensi bahwa segala sesuatu itu adalah bahasa, maka bagaimanakah aku memikirkan bahasa yang sakit itu?

    BalasHapus