Senin, 21 Desember 2009

Analogi


Analogi

Dalam bahasa religius, ada istilah qiyas yang seringkali disamakan dengan terma tersebut. Istilah qiyas, seingat saya, biasanya diterjemahkan oleh para pengkaji teologi islam barat dengan “jurisprudence” (jurisprudensi) yang memiliki nuansa lebih umum dan lebih profan. Karen qiyas terkait dengan hukum syariat yang diputuskan oleh para ahli hadist dan ulama untuk memutuskan hukum atas sesuatu dan mendasarkan keputusannya pada kejadian serupa yang pernah diputuskan oleh Nabi atau para Khalifah. Keserupaan itulah yang menjadi dasar untuk menghasilkan keputusan yang serupa juga. Sementara jurisprudensi biasanya mengacu pada keputusan pengadilan terhadap satu kasus dan keputusan itu kemudian menjadi acuan untuk menetapkan satu status hukum yang serupa.
Kembali ke terma di atas, keserupaan menjadi kata kunci saat kita menjelaskan sesuatu sebagai pembanding bagi ihwal yang tengah menjadi pembicaraan. Tentu saja, pembanding tidak akan pernah menjadi representasi utuh dari yang dibandingkan. Tetapi, analog menjdi alat bantu dalam menjelaskan ihwal tertentu. Sifat keserupaan analog itulah tampaknya yang menjadikan metafora teramat kental dengan warna analog itu. Metafora memiliki fungsi untuk merealitaskan makna hingga menjadi nyata seperti realitas itu sendiri, atau bahkan melebihi realitas itu sendiri. Lagu adalah bentuk metafora dari metafora itu karena melaluinya tercipta hiperalitas dengan lipatan-lipatan analog, yang memanfaatkan penangkapan indera pendengaran, perasaan dan pencerapan otak. Maka linangan air mata tumpah ruah ketika lengkingan suara 7 oktaf Celine Dion menyuarakan metafora “My Heart will Go On,” dan dikuatkan dengan kilatan-kilatan adegan dari Titanic. Atau yang lebih lokal dan lebih membumi di Indonesia, bagaimana Charly ST 12 melarutkan perasaan audiens ketika isakan suaranya melantunkan metafora-metafora kehilangan dan kedalaman cinta melalui lagu “Saat Terakhir.” Begitulah fungsi analog, ia mewakilkan dan sekaligus mengkuatkan satu konsep makna. Ia bisa menyederhanakan dan kadang membawa realitas dalam labirin kerumitan, menjadi amplifikator yang menggemakan makna untuk bisa lebih tercerap dalam otak dan menggoreskan seribu kesan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar