Rabu, 25 November 2009

Bahasa "the Powerful"


Bahasa yang sakit Vs Bahasa yang sehat


Dikotomis dan saling menghilangkan, atau kadang dimaknai sebagai "mutually exclusiveness"-saling meniadakan. Itulah kesan pertama judul di atas. Apa benar demikian? Untuk tubuh wadag iya, badan yang sakit tidak bisa serta merta badan yang sehat, meskipun bisa dipilah lagi. ketika perut sakit, kepala belum tentu sakit. Tetapi sebagai satu kesatuan, tubuh yang sakit tidak mungkin sekaligus menjadi tubuh yang sehat. Lalu, bagaimana dengan bahasa??

Tidak perlu mendefiniskan bahasa itu, yang dimaksud adalah perangkat komunikasi yang memanfaatkan tanda verbal berisikan wujud untaian fonis, makna dan acuan yang melekat pada konteks.Term sakit yang dilekatkan pada bahasa adalah hal yang baru saja kudengar. Yups, karena sakit biasanya melekat pada sesuatu yang "animate" (bernyawa dan hidup). Malaikat atau setan "sakit" masih terasa normal dalam commonsense, iya kan? Maka klarifikasi menyebutkan bahasa sakit dijelaskan bahasa yang tidak digunakan secara konvensional, misalnya plesetan, ketaksaan, idiom mungkin....So, dari titik pangkal ini, kita dapat membicarakan dua hal itu dengan lebih pasti.
Artinya bahasa sehat adalah bahasa kita sehari-hari yang kita gunakan, kita temukan di buku-buku, terbaca di sepanjang jalan melalui media iklan dan media publik lainnya. Bahasa ada di mana-mana menjalankan fungsinya dalam kehidupan manusia, yakni mengkomunikasikan pengalaman kemanusiaan mengenai realitas maupun sesuatu yang direalitaskan melalui bahasa.
Teringkat term Ibu Prof. Ruqaiya Hasan yang dengan kepalan tangannya menegaskan "The Power of Language" yang dihubungkan dengan "semiotic reality" --untuk merangkum keampuhan bahasa dalam merealisasikan realitas itu sendiri. Bahwa fenomena akan menjadi real bila bahasa mau merangkumnya. Artinya pengalaman kemanusiaan akan menjadi nyata dengan bahasa sebagai media perwujudannya. Terbayang kan? contoh kecil saja bagaimana budaya yang berbeda memiliki daya tekan terhadap realitas yang beragam yang penekanan fokus itu tampak dari bagaimana mereka berbahasa. Misalnya: "America" tidak akan pernah menjadi apa-apa bila tidak ada nama yang dilekatkan oleh Columbus di daratan yang teramat besar itu, tentu saja yang didahului dengan proses diskaferi. Sampel lain kita tahu bahwa realitas rasa sedih sangat beragam, tetapi toh hanya kata "sedih" yang bisa mewakili kondisi emosi sedih yang sebenarnya satu kontinum dari yang paling ringan hingga yang terberat. realitas emosi negatif yang pada wujud aslinya teramat banyak itu hanya dirangkum dengan satu kata "sedih" dengan mereduksi hal-hal yang variatif itu. Maka bagian lain terbuang begitu saja, dan tidak terwadahi oleh bahasa. dengan kata lain realitas itu tidak terwujud, karena bahasa tidak memediasinya. Sebagaimana peran media massa yang bisa mewujudkan atau menegasikan realitas, dengan memilih berita mana yang akan dimunculkan dan bagaimana menyajikannya. Prita Mulyasari tidak akan menjadi ada, bila media tidak menjaringnya dan menyebarkannya menjadi isu massa, dan mungkin Prita tidak akan dikenal siapapun, dengan nasib yang mungkin sangat menyedihkan menanggung berbagai beban dan sanksi yang sebenarnya tidak pantas ia tanggung. RS.OMNI mungkin akan semakin sewenang-wenang memperlakukan pasiennya dan berdiri makin pongah dengan kapital yang dimiliki untuk menindas mereka yang kritis dan jujur tentang siapa OMNI itu. Dan realitas itu lagi-lagi termediasi oleh bahasa. believe it? Language is so powerful. dengan demikian bahasa bukan hanya sehat tetapi juga memiliki vitalitas, daya hidup yang bisa mempengaruhi realitas-realitas yang lain.

2 komentar:

  1. Aku juga ternyata telah menemukan diriku itu berada di antara the semiotic of reality dan the semantic of reality.

    BalasHapus
  2. Namun aku juga menemukan bahwa ketika the power of language berpihak kepada the semiotic of reality maka dia itu tidaklah sebanding dengan the least power of semantic of reality. Maka aku masih menemukan bahwa the power of semantic itu ternyata tidak perlu dikibarkan. Anehnya aku masih menemukan bahwa jangan-jangan the power of semantic tidak lain tidak bukan adalah diriku atau dirimu atau diri yang lain atau diri yang ada dan yang mungkin ada. Maka aku ingin bertanya kepada diriku, jangan-jangan itulah yang selama ini aku cari?

    BalasHapus