Selasa, 12 Oktober 2010

Essay (Sample 2)

Panglima : Ya hanya Kata
Betulkan bahwa panglima tidak lain adalah sebuah kata. Buktinya kita bisa memahami maknanya sebagai satu kesatuan. Dalam morfologi, panglima adalah kata yang terdiri atas satu morfem, elemen makna terkecil. Akar kata dari “panglima” adalah /panglima/ itu sendiri. Makna dari panglima adalah pimpinan atau ketua atau komandan dalam sebuah peperangan. Kata itu memang sangat kental dengan aroma tribal peperangan. Cerita-cerita kerajaan dalam masa penaklukan seringkali menyebutkan para pimpinan perang yang gagah berani dengan nasibnya yang kadang sangat membanggakan dan di saat lain sangat menyedihkan menemui kematian dengan terajam ribuan pedang. Benarkah kegagahan seperti itu cukup diatribusikan dengan “sebuah kata”—teramat reduktif dan tidak adil untuk kata yang selama ini berasosiasi dengan kepahlawanan sekaligus kekuasaan itu. Maka, perlu ditempuh satu penelusuran lebih jauh.
Satu sudut di pikiran mengkutak-katik kata itu menjadi satu frasa yang terdiri atas dua kata bahasa Jawa pang “cabang pohon” dan lima “jumlahnya lima.” Angka lima adalah jumlah yang memiliki nilai ekstra dalam kultur bangsa ini, yang memiliki Pancasila, dan juga masyarakat muslim yang memiliki lima kewajiban shalat tiap hari. Maka cabang pohon yang jumlahnya lima menjadi sesuatu yang pantas diasosiasikan dengan nilai tertentu, nilai yang lebih hebat dari jumlah-jumlah lain. Sekali lagi soal jumlah dan asosiasi mistis dan mitos itu juga mengingatkan memori kita pada perspektif kejawaan yang memandang angka yang tidak biasanya dicurigai memiliki nilai lebih. Misalnya, kelopak bunga tertentu yang lazimnya berjumlah lima, bila didapati jumlah kurang atau lebih dari itu, maka bunga “aneh” itu akan menjadi jimat. Atau cicak atau tokek dengan ekor bercabang yang sering dianggap memiliki daya magis (Hirata:2008). Ya, sang pengarang cerdas itu dalam seri terakhir dari tetraloginya bercerita tentang seorang dukun yang teramat sakti dengan berbagai jimat koleksinya. Salah satunya adalah tokek dengan ekor bercabang. Tokek yang lazimnya memiliki satu ekor ternyata terkadang menunjukkan morfologi yang anomaly. Dan ranah pikiran masyarakat mistis, keanehan itu dimaknai sebagai satu keajaiban dan berpotensi sebagai kekuatan, maka jadilah fenomena anomaly selalu diubah menjadi produk-produk mistis budaya. Dan cerita tentang kemahiran perang sang panglima tidak pernah kering dari daya mistis dan kepemilikan benda-benda anomaly berkekuatan mistis.
Dalam kehidupan modern sekarang, panglima masih ada. Presiden adalah panglima tertinggi yang memegang otoritas mengenai keadaan Negara dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan upaya pengamanan Negara. Film Hollywood sering menggambarkan bagaimana seorang panglima harus memutuskan nasib suatu komunitas yang tertimpa wabah menular apakah mesti diselamatkan dengan jaminan tidak merembet ke komunitas lain, atau malah dimusnahkan sama sekali. Sebagaimana keputusan dalam menangani pesawat yang dibajak, mengirim rudal dan melumat mereka bersama dengan isi pesawat ataukah ada langkah yang bisa dilakukan tanpa membahayakan kepentingan yang lebih besar. Apakah panglima memang tidak bisa jauh dari urusan darah dan nyawa baik menumpahkan atau mempertahankannya?

Sebaliknya: Kata itu Panglima
Bila demikian mengapa kata? Kata tidak memiliki karakter untuk menjadi senjata yang ampuh untuk membunuh, meskipun adagium klise mengatakan “kata lebih tajam dari pedang.” Tetapi apakah sebuah kata atau selaksa kata yang kita tulis dan kita bentuk menjadi piktograf pedang atau pisau bisa memiliki kemampuan sekedar untuk mengiris sepotong tempe yang hendak dimasak? Lalu, apakah kata itu adalah kata milik panglima, karena kata-kata darinya bisa menentukan nasib ribuan nyawa. Atau bahwa kata memiliki ketajaman yang amat ampuh untuk membunuh segala sesuatu yang sifatnya non-fisik, jasadiah. Dengan sifatnya yang tidak tampak dan merambat melalui gelombang udara, sebuah kata bisa menembus dimensi ruang waktu menancap dalam pemahaman reseptor dan mewujud secara begitu nyata dan menggoreskan selaksa luka dalam nurani sebuah bangsa atau seribu juta dera bagi satu umat beragama.
Sebagaimana yang terjadi atas “klaim budaya” tertentu yang menimbulkan gejolak massa yang sangat bersimpati pada budayanya. Sementara PM.Laksono (2009) menanggapinya dengan enteng, “Jangan cengeng dan tidak kreatiflah…biar saja mereka mengaku-ngaku. Ya kita menciptakan lagi…” Seniman yang besar adalah seniman yang tidak pernah kering dan miskin akan karya, maka ketika ada sebagian karyanya dibajak orang lain, tidak memiliki rasa khawatir apapun, karena dia dapat menciptakan karya baru yang lebih baik dari yang diambil orang tadi.
Dengan keampuhan seperti itu, kata tentu saja dapat juga mempengaruhi sebuah realitas atau bahkan dia dapat menciptakan realitas. Lebih ekstremnya “kata” sebagai representasi dari bahasa merupakan prasyarat terpenting bagi sebuah fenomena untuk bisa hadir dan diakui sebagai realitas oleh masyarakat manusia. Maka si cantik bisu yang diperkosa tidak pernah menjadi realitas, karena ia tidak bisa menghadirkan kejadian yang dialaminya dalam bentuk kata-kata. Begitu juga dengan pembantaian di suatu kota tidak mengundang reaksi apapun karena media menyembunyikannya—tidak menciptakan kehadiran bagi fenomena kekejaman manusiawi itu kepada dunia melalui kata-kata dalam salah satu headlinenya. Fakta ini menunjukkan bahwa kata adalah satu kekuatan yang sangat menentukan banyak hal dalam kehidupan manusia. Kehadirannya sebagai perangkat bagi “semiotic reality” untuk hadir tidak lain adalah sebuah “power.” Kata, dengan demikian, bukan sekedar merepresentasikan realitas, tetapi sebagai kendaraan bagi kehadiran realitas (Hasan:2009).
Kata adalah kehadiran realitas itu sendiri. Kata dengan demikian perangkat untuk “mengada” bagi realitas. Realitas menyangkut semua pengalaman yang dapat dicerap pikiran manusia. Melalui kata realitas itu dikemas, disusun, diorganisasikan, dan dibagikan atau disimpan sendiri dalam memori yang tersembunyi dalam simbol-simbol bahasa (Halliday:2009). Bila demikian, kata, atau lebih tepatnya juga merupakan kendaraan bagi pengetahuan, sebagaimana posisi dilematis yang dirasakan oleh Derrida dalam memandang bahasa sebagai kendaraan penghadiran pemikiran yang tidak pernah sepenuhnya mewakili pemikiran yang ada pada dirinya, “karena bahasa adalah bukan alat yang saya ciptakan sendiri, melainkan alat yang paling mungkin saya gunakan” (Sarup, 2008:49). Di bagian lain Derrida menjelaskan bahwa “orang dapat menggunakan bahasa, termasuk tulisan, sains, dan matematika, yang menjelaskan pemahaman lengkap dan jelas atas dunia” (Agger, 2007:115). Dengan demikian, bahasa tidak lain adalah pengetahuan itu sendiri, karena melaluinyalah pengetahuan tentang dunia bisa “mengada” dalam pemikiran manusia. Bila bahasa dipandang dari sudut ini, sebagai representasi pengetahuan maka akan tampak sekali “kepanglimaan” dari “kata” yang tengah kita bicarakan sekarang. Bila kata adalah satu-satunya wadah yang bisa menampung pengetahuan atau setidaknya kendaraan utama bagi pengetahuan, maka siapa saja yang memiliki atau menguasai kendaraan itu, dia adalah panglima itu sendiri.
Kita terbawa ke “Knowledge and Power,” satu pemikiran dari filusuf kontemporer yang sangat berpengaruh bagi teori-teori sosial, Michele Foucault. Hidayat (2004:236) menjelaskan pandangan Foucault mengenai kaitan kuasa dan pengetahuan. Pengetahuan memproduksi kuasa sebagaimana kuasa memproduksi pengetahuan. Kuasa hanya mungkin akan muncul bila ada pengetahuan dan pada saat yang sama tidak akan ada pengetahuan kecuali melalui kuasa. Jadi, ada semacam relasi ganda diantara keduanya: pengetahuan mengandung kuasa seperti kuasa juga mengandung pengetahuan. Penjelasan ini dengan jelas menegaskan dari makna “power” dari bahasa (yang mewujudkan pengetahuan) bukan hanya sebagai daya yang mewujudkan realitas, melainkan daya untuk menguasai secara politik ataupun menguasai aspek-aspek kehidupan lain.

Kata yang Menutup
Demikianlah, “bahasa” atau “kata” tidak lain adalah panglima dengan vitalitas genetis yang menampung pengetahuan kemanusiaan. Vitalitas itu dapat dimodifikasi untuk kepentingan kemanusiaan baik secara negatif maupun positif. Tampak sekali dalam masa komunikasi global seperti sekarang “bahasa” dapat merubah wujudnya menjadi “malaikat yang paling taat” pada satu masa; ia menjadi sumber keberkahan bagi manusia. Pada saat yang sama, bahasa memiliki potensi untuk mewujud menjadi “dedengkot iblis yang paling jahat”; bahasa menjadi momok yang mengerikan karena dapat membenamkan nasib seseorang ke dalam lembah kebinasaan yang terdalam. Teringat satu nasihat dari mitra komentator bahwa kita harus “dewasa” dan “bijak” dalam segala hal, termasuk dalam memanfaatkan sang panglima, “kata” (baca:bahasa), agar bahasa betul-betul menjadi figure yang memberikan layanan terbaik bagi kehidupan manusia, sebagaimana maksud dari inspirator dan Maha Guru bagi kebudayaan manusia, sang ilahi. Semoga…

Daftar Pustaka
Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis (Nurhadi-Penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme. (Medhy Aginta Hidayat-Penerjemah. Yogyakarta: Jalasutra.
Hasan, Ruqaiya. 2009. Space & Language. (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Halliday, M.A.K. 2009. Tanya-Jawab Leksiko-Tatabahasa (INASYSCON 2009). Malang: Universitas Brawijaya.
Hidayat, Rachmad. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan Terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Hirata, Andrea. 1999. Maryamah Karpov: Mimpi-Mimpi Lintang. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Laksono, PM. 2009. Fenomenologi dalam Kritik Seni (makalah). Seminar Penelitian Seni Interdisipliner. Yogyakarta: Fak. Bahasa dan Seni, UNY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar