Selasa, 12 Oktober 2010

Essay (Sampel 1)

Derrida, Sang Pembongkar: Lirikannya pada Bahasa

Filsafat: Sosok besar yang melingkup dan menancap
Dua ciri yang paling merasuk dalam pemikiran tentang filsafat adalah sifatnya yang meluas hingga ke luar batas, dan merasuk, membenam hingga dasar dan melintasi dasar itu hingga menemukan horison baru, yang menantang untuk dirasuki. Maka petualangan pikir filsafat tidak lain adalah revolusi dan evolusi yang berlangsung tanpa jenuh, dengan gerak-gerak sentrifugal dan sentripetal atau bahkan gerak tak berpola untuk membelah wilayah logika baru. Maka pemahaman puncak atas satu aliran akan melahirkan jalur-jalur baru bagi kemunculan anak aliran baru, atau bahkan lautan aliran yang akan menjadi bahan kajian yang diperdebatkan dalam dialektika panjang yang ujungnya adalah samudra-samudra dengan ribuan logika berenang, bertarung, demi logika itu sendiri.
Anak-anak aliran itu kadang memperkuat dan menyebarkan nafas dari aliran induknya. Di saat lain, ia menjadi aliran polutif yang mempertanyakan dan seolah mengkeruhkan aliran yang sudah mantap. Namun, hakikat dari jenis-jenis aliran itu adalah sama, keduanya memperkaya aliran lama, menjadi perpsektif baru yang meruncingkan logika awal yang berlaku. Semuanya berlandaskan pada kebebasan pergerakan sosok logika. Maka nilai-nilai seringkali terlonggarkan ikatannya. Apatah lagi emosi dan ego diri sudah sepatutnya menyingkir jauh dari kesejatian logika, dengan menyerahkan sepenuhnya pada kaidah kebebasan logika dalam bahtera filsafati.
Fenomena pemikiran yang “melawan” tampak jelas dari Derrida yang mempertanyakan filsafat Barat yang teramat getol dengan logosentrismenya. Membaca Derrida, meski tidak secara langsung, mengharuskan saya berpikir ulang dan membaca ulang. Pemikirannya mendongkel konsep-konsep yang sudah matang dan tidur tenang dalam pemikiran. Sisi lain menimbulkan kesadaran dinamisme pemikiran, menyentak kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna dan utuh; segalanya patut dipertanyakan. Mungkin dekonstrukstivisme adalah aliran pemikiran yang “lebih filsafat” dalam hal “mempertanyakan,” karena ia pun merasa patut mempertanyakan dirinya sendiri. Artinya, setiap orang berhak menjadi Derrida baru yang membongkar konstruk suatu teori dan pada waktu berikutnya menjadi Derrida yang lain lagi untuk mempertanyakan hasil pembongkaran itu (lihat Agger, 2007:125-126). Tulisan ini secara khusus akan mencoba menjumput pemikiran Derrida dalam hal bahasa.

Derrida: Dekonstruksi Konsep Bahasa
Paham strukturalisme yang berkembang paska penerbitan kuliah Saussure memiliki pengaruh yang besar bagi kajian bahasa dan juga bagi kajian-kajian dalam disiplin lainnya. Strukturalisme tampil menjadi lampu penerang yang dapat menguraikan fenomena kebahasaan dan fenomena realitas kemanusiaan lain dengan cara yang mengagumkan. Elaborasi yang taktis dan sistematis kaum strukturalis terbukti mampu menjawab banyak pertanyaan besar dari misteri realitas yang selama ini terabaikan dan dianggap tidak bisa disentuh.
Namun, generalisasi sistem yang terlampau diyakini sebagai satu-satunya kebenaran kemudian menimbulkan “kecurigaan” dan keraguan di benak para pemikir kritis. Salah seorang di antaranya adalah Derrida yang mengalami kebosanan terhadap asumsi kemapanan yang seakan eternal dari penganut strukturalisme. Dua hal yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah pertanyaan tentang tanda dan persoalan pengunggulan ujaran atas tulisan. Dua isu itu hanya merupakan sebagian dari butir-butir keberatan Derrida terhadap faham strukturalisme, yang terlahir dari pemikiran linguistik Saussure (lihat Alwasilah, 2009:129).
Derrida mendapati kegagalan kaum strukturalisme yang tidak pernah mampu menjelaskan “strukturalitas struktur.” Derrida menganggap keyakinan adanya “pusat” sebagai awal dari struktur yang berada di dalam sekaligus di luar struktur itu tidak lain hanyalah ilusi belaka. “Pusat” itu tidak memiliki situs alamiah dan tidak dapat dihadirkan. Resolusi dari ini, usul Derrida, adalah ketiadaan batas-batas teoritis bagi signifikasi yang mestinya disepakati bersama (Hart, 2005:76). Titik penting pertanyaan besar pada “metafisika kehadiran” inilah yang mengantarkan Derrida pada lubang-lubang pemikiran strukturalisme.
Tanda: Tak ada yang final dan konklusif
Saussure menyatakan bahwa tanda adalah relasi antara signifier-signified (petanda-penanda) yang terkait secara konstan satu sama lain. Kata yang awalnya berupa ujaran berelasi secara linear dengan konsep realitas. Sebagai contoh orang mengerti bahwa “hewan yang digunakan sebagai kendaraan untuk tunggangan” disebut ‘kuda’, atau orang Jawa menyebutnya sebagai ‘jaran’. Kata “kuda” dan “jaran” adalah petanda yang mewakili konsep penanda “hewan yang digunakan sebagai kendaraan untuk tunggangan.” Relasi ini kemudian diparalelkan dengan oposisi materi-ruh dan substansi-pikiran, yang kemudian mengunggulkan posisi ruh dan pikiran (Alwasilah, 2009:129). Tampaknya konsep ini juga terkait dengan prioritas ujaran atas tulisan yang dipegang teguh strukturalis.
Derrida mempertanyakan konsep dan asumsi dasar dari teori Saussure tentang tanda. Ia tidak sepakat akan kemunculan “petanda” yang dianggap selalu lebih awal dari “penanda.” Dengan kata lain “petanda” diyakini sebagai “pengada” yakni realitas yang kemudian melahirkan bahasa. Dan tidak ada “signifie transcendental”, makna transendental. Dengan kata lain, tidak ada makna yang hadir di luar teks. Makna akhir yang muncul di luar teks sejatinya tidak pernah ada. Seperti dijelaskan Hidayat (2006:220), teks bukan merupakan kendaraan mengangkut makna yang merujuk pada makna itu sendiri, melainkan makna itu selalu tertenun dalam teks.
Derrida lebih lanjut menegaskan bahwa tidak ada tanda yang sempurna. Karena makna tidak pernah hadir utuh, dan kehadirannya selalu lekat dalam satu konteks, dan setiap konteks tidak pernah dapat mewadahi makna secara lengkap dan utuh. Derrida menyatakan sebagai berikut: “penanda terus berubah menjadi petanda, dan sebaliknya, dan kita tidak pernah sampai pada petanda terakhir yang dalam dirinya sendiri bukan penanda.” Lanjutnya, ia mengatakan bahwa apa yang diacu oleh penanda tidak lain adalah sesuatu yang tidak ada, dengan demikian makna sendiri dipertanyakan keberadaannya. “makna terus-menerus bergerak di sepanjang matarantai penanda, dan pengguna bahasa tidak pernah memiliki kemampuan untuk memastikan posisinya, karena makna tidak pernah terikat secara konstan dalam satu tanda tertentu (Sarup, 2008:47, lihat Agger:2007, Kaelan:2009). Dengan demikian, makna sendiri begitu relatif dan tidak pernah hadir secara utuh dalam kosakata. Makna tergantung pada kata yang mewadahinya, meskipun kata itu tidak pernah bisa melingkupi sebuah makna secara lengkap dan utuh. Makna suatu bahasa layaknya selalu berproses dalam perubahan dan tidak pernah hadir utuh dan senantiasa membedakan dari dirinya sendiri, sekaligus tertunda dari kemungkinan menuju keutuhan itu (Hidayat, 2006:227).
Derrida memberikan kesimpulan bahwa makna/petanda (signified) tidak pernah bisa melampaui ungkapan/penanda (signifier). Makna sendiri selalu dalam kondisi floating (mengapung) pada kata-kata yang menjadi wadahnya. Kata dan maknanya tidak pernah memiliki hubungan yang konstan dan utuh. Makna selalu berubah ketika kata hadir dalam konteks yang berlainan. Selain itu, makna yang sama bisa hadir (secara tidak utuh) dalam suatu ujaran (kata) yang sama sekali berbeda. Kaelan (2009:262) menjelaskan “setiap makna menjadi bentuk ungkapan baru dari makna berikutnya.” Tampaknya kita kembali pada gagasan sebelumnya bahwa tidak ada makna final yang konklusif dan merujuk ke dirinya sendiri. Makna harus hadir melalui perantaraan kata.
Konsep relativitas makna ini menuntun pada kritik keras teks ala strukturalisme. Dekonstruksionis meyakini bahwa tiap teks memiliki potensi untuk membongkar dirinya sendiri. Agger (2007:121) mengutip pemikiran Derrida yang menyebutkan “Prinsip dekonstruksi menyatakan bahwa semua teks akan terurai begitu dikaitkan dengan kehati-hatian pertanyaan linguistic, filosofis dan kehampaan etis-penihilan, titik nol, pemlesetan, penindasan…semua teks “mendekonstruksi” dirinya sendiri dengan melibatkan penihilan, pemlesetan dan penindasan secara otomatis dalam tindakan literer.” Dan aktivitas dekonstruksi tidak lain adalah interpretasi yang menerangkan momen pembongkaran (dekonstruksi) diri. Pembongkaran itu berlangsung pada level subteks, yaitu tulisan yang membawahi yang tidak pernah benar-benar mengemuka dan berisi bukti ketidakmenentuan teks. Subteks dengan demikian merupakan inferensi dari fakta literer yang nampak dan proses dekonstruksi bertujuan untuk menggali hal-hal yang diyakini ada dan tertutup yang bisa berupa ”pertanyaan yang tidak ditanyakan ataupun pertanyaan yang tidak terjawab, masalah yang tidak diajukan, asumsi yang tertutup rapat atau terpelesetkan” (Agger, 2007:121). Dengan demikian, setiap teks pasti meninggalkan lubang-lubang yang belum sempat tertutup rapat dan menjadi pertanyaan di pikiran pembacanya. Lubang atau celah itu tercipta oleh jarak-jarak dari elemen teks ataupun oleh jarak antara elemen teks dengan unsur yang ada di luar teks, konteks. Dan konteks selalu luas dan bertepi dalam pemikiran tiap pembaca. Jadi, kritik teks selalu melahirkan teks baru yang bisa saja menjadi obyek menarik bagi para dekonstrukfis.

Mempertanyakan Fonosentrisme
Derrida mengkritik strukturalisme yang menganggap tulisan sebagai bentuk kultural yang muncul belakang sebagai representasi dari ujaran. Tulisan tidak lain sekedar pelengkap ujaran dan merupakan instrumen eksternal. Sebaliknya ujaran (voice) diyakini sebagai metafora kebenaran dan keotentikan. Dengan kata lain ujaran memiliki keunggulan dibandingkan tulisan (Alwasilah, 2009:129). Sarup (2008:58) menjelaskan secara apik pandangan Levi-Strauss mengenai oposisi ujaran-tulisan, “ujaran mengandung semua atribut metaforis kehidupan dan vitalitas yang sehat, sementara tulisan mengandung konotasi kekerasan dan kematian yang gelap.” Pandangan inilah yang disebut Derrida sebagai fonosentrisme—kecenderungan yang berlebihan terhadap “phone” (suara) yang dianggap sebagai fakta bahasa yang lebih otentik ketimbang tulisan.
Pandangan ini terlahir dari keyakinan bahwa struktur alam lebih unggul dari struktur kultural. Struktur alam, yang diwakili oleh peradaban primitif, dianggap sebagai struktur yang lebih hakiki dan esensial. Penelitian Levi-Strauss yang berkecimpung dalam masyarakat-masyarakat yang dianggap masih asli adalah sebagian karya-karya besar strukturalisme yang sangat mengagungkan nature (Sarup, (2008:75) Ahimsa-Putra: 2006). Dan tulisan dianggap sebagai produk kultur, sementara ucapan terlahir dari natur. Benarkah demikian?
Derrida menegaskan bahwa tulisan adalah “prakondisi bahasa dan harus dipandang lebih penting dari ujaran. Tulisan merupakan “permainan bebas” atau elemen ketidakpastian dalam setiap sistem komunikasi” (Sarup, 2008:59). Lanjutnya, “tulisan” ini tidak mengacu pada konsep empirisnya, melainkan pada “struktur yang berisikan jejak-jejak.” Derrida juga memperkuat gagasannya dengan menyajikan dua kata “difference” dan “difference” yang dalam bahasa Perancis diucapkan serupa “difference.” Artinya dua kata yang berbeda maknanya ternyata tidak terbedakan dalam ujaran, dan pembedanya tampak ketika dua kata itu dituliskan.
Saussure pun sebenarnya menyampaikan kelemehan ujaran sebagai data linguistik. Salah satunya karena relativitas ucapan yang begitu tinggi terhadap konteks. Setiap bunyi diucapkan secara berbeda oleh pengucap yang berbeda. Begitu juga bunyi yang sama akan terdengar berbeda bila hadir dalam konteks-konteks bunyi yang berlainan. Selain itu, dari waktu ke waktu ujaran mengalami perubahan entah seberapa kecilnya. Dengan demikian, bila kita ingin menggunakan data ujaran, kita harus merekam data itu dari waktu ke waktu. Saussure pun mengakui bahwa tulisan juga penting untuk mengkaji bahasa-bahasa yang sudah mati, dan pasti hanya terekam oleh tulisan yang sempat ditorehkan oleh pengguna bahasa kala itu.
Pernyataan ini mendobrak keyakinan strukturalis yang teramat merindukan “kehadiran” yang melekat dalam ujaran. Ujaran memang lekat dengan keberadaan seorang penutur, tetapi makna dari kata-kata yang diujarkan tidak bisa dianggap sebagai satu kebenaran tunggal yang dapat dipahami secara utuh dan selamanya. Sementara tulisan memungkinkan seorang untuk menengok ulang apa yang telah ia pahami baik untuk lebih memahami atau untuk mengkoreksi pemahaman sebelumnya yang mungkin keliru.
Bila kita kaitkan dengan fenomena globalisme saat ini, “kehadiran” lebih banyak diwakili oleh tulisan. Seorang pengarang misalnya hadirnya diwakili oleh karya-karya novelnya yang menghadirkan dirinya pada dunia dengan cerita-cerita yang menakjubkan. Demikian juga media, terutama cetak, yang menegaskan hadirnya dengan menyajikan berita dan tulisan bermutu bagi pembacanya, yang kemudian menjadikannya dikenal dan dipercaya oleh masyarakat melalui “kehadiran tulisan.” Kelas filsafat kita pun banyak “dihadirkan” melalui tulisan berupa komentar atau karya-karya kecil di blogger yang “hadir” utuh tanpa batas ruang dan waktu.

Penutup
Kemapanan strukturalis ternyata tidak bisa dikatakan “mapan.” Meskipun tidak berarti bahwa alat struktural yang telah diformulasikan para pionirnya tidak lagi berguna. Bukan demikian, Derrida berangkat dari strukturalisme dan menggunakan fondasi-fondasinya untuk mempertanyakan struktur itu sendiri. Ia sendiri menegaskan bahwa dirinya juga layak untuk didobrak kembali menjadimata rantai pendobrakan sebagaimana mata-rantai makna yang berpindah dari satu penanda ke penanda yang lain.
Tulisan ini hanyalah sekelumit gagasan Derrida mengenai bahasa yang sementara ini dapat terekam. Butuh pengkaji yang lebih cerdas dan lebih banyak lagi untuk menguraikan pemikiran-pemikiran Derrida dan meletakan aplikasinya pada kajian-kajian di berbagai bidang kehidupan.

Daftar Pustaka

Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya (Nurhadi.penerjemah). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ahimsa-Putra, Sri Heddy. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss. Yogyakarta: Keppel Press
Alwasilah, Chaedar. 2009. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hart, Kevin. 2005. Jacques Derrida. Dalam Beilharz, Peter (Editor) Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filusuf Termuka (Sigit Jatmiko-Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kaelan, M.S. 2009. Filsafat Bahasa: Semiotika & Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme & Posmodernisme (Medhy Aginta Hidayat-penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar